REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan memberi sinyal bahaya bagi wajib pajak yang tidak mengikuti pengampunan pajak hingga program tersebut berakhir pada 31 Maret mendatang.
"Pasal 18 (UU Pengampunan Pajak) akan diterapkan secara konsisten. Kami sedang persiapkan regulasi, sumber daya manusia, penghimpunan data juga jalan terus," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Hestu Yoga Saksama, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (8/3).
Dia mengatakan regulasi untuk menjalankan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak sedang dikonsepkan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP). Peraturan itu akan memberi kepastian apabila ada harta yang belum diamnestikan. DJP akan membuat prosedurnya seringkas mungkin, artinya account representative (AR), atau yang mengawasi wajib pajak, akan langsung menetapkan surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB).
"Kami tidak perlu pemeriksaan menyeluruh all taxes, tetapi dari harta itu saja langsung ditetapkan nilainya berapa dan pajak yang harus dibayarkan berdasarkan pasal 18 itu berapa, sehingga lebih efisien," kata Hestu.
Pasal 18 UU Pengampunan Pajak berisi ketentuan mengenai perlakuan atas harta yang belum atau kurang diungkap dalam SPT laporan pajak. Wajib pajak yang menolak membereskan catatan perpajakan masa lalu dengan mengikuti program pengampunan pajak akan menghadapi risiko pengenaan pajak dengan tarif hingga 30 persen serta sanksi atas harta yang tidak diungkapkan dan kemudian ditemukan. Hestu menyebutkan Pasal 18 UU Pengampunan Pajak tersebut merupakan wujud keadilan bagi wajib pajak yang patuh dan telah mengikuti program amnesti pajak.