Kamis 09 Mar 2017 11:27 WIB

Mogok Massal, Ribuan Sopir Angkot Unjuk Rasa ke Kantor Gubernur Jabar

Rep: Zuli Istiqomah/ Red: Andi Nur Aminah
Ribuan sopir angkutan kota (angkot) dan taksi Kota Bandung menggelar aksi mogok massal dan unjuk rasa di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kamis (9/3).
Foto: Zuli Istiqomah
Ribuan sopir angkutan kota (angkot) dan taksi Kota Bandung menggelar aksi mogok massal dan unjuk rasa di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kamis (9/3).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Ribuan sopir angkutan kota (angkot) dan taksi di Kota Bandung menggeruduk kantor Gubernur Jawa Barat di Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Kamis (9/3). Para sopir menggelar aksi mogok massal serta berunjuk rasa.

Sopir-sopir angkutan umum ini memprotes keberadaan angkutan berbasis online yang semakin merajalela. Keberadaannya dianggap menimbulkan keresahan karena membuat penghasilan sopir angkutan umum resmi berkurang drastis.

"Dari 100 persen cuma 20 persen (pendapatan) setiap harinya berjalan. Imbas dari keberadaan Uber dan Grab (angkutan berbasis online). Berbasis aplikasi ini sangat merasakan. Padahal di beberapa negara juga sudah ditolak," kata koordinator aksi dari Aliansi Moda Transportasi Umum Jawa Barat, Nanat Nazmul M, Kamis (9/3).

Selain itu, Nanat menyebutkan keberadaan angkutan berbasis aplikasi menimbulkan banyak konflik horizontal di sektor transportasi. Hal ini ditambah dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No.32 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Di mana dalam peraturan tersebut diatur pengakuan penyelenggaraan angkutan umum dengan aplikasi berbasis teknologi informasi.

Lewat peraturan tersebut, ujarnya, pemerintah dianggap telah bertindak diskriminatif kepada angkutan umum resmi yang ber-plat kuning. Sehingga secara otomatis menimbulkan persaingan ekonomi yang tidak sehat dan kemudian melahirkan kesenjangan ekonomi serta ketidakadilan. Sebab tidak diberlakukan kewajiban yang sama antara angkutan berbasis aplikasi dengan yang umum.

"Tidak ada yang mendaftar KIR. Artinya Permenhub 32 bukan satu solusi.  Uji KIR itu kewajiban moda transporatsi umum. Mereka nggak punya izin sehingga dianggap ilegal. Harus ada persyaratan," ujar Nanat.

Oleh karena itu, ribuan sopir yang tergabung dalam empat perusahaan angkutan umum yakni GPTB, KOBANTER, KOBUTRI, KOPAMAS mendesak dua tuntutan. Pertama, dicabutnya Permenhub 32 Tahun 2016. 

"Dengan lahirnya angkutan berbasis aplikasi di bandung. Pertama kami tentunya bahwa tuntutan kami adalah kebijakan pusat Permenhub  No 32 tahun 2016 tentang operasional armada berbasis aplikasi online segera dicabut dikembalikan ke Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan," tuturnya.

Selain itu, para sopir juga mendesak aparat penegak hukum untuk bertindak tegas dengan menertibkan angkutan umum berbasis aplikasi. Mengingat jumlahnya yang semakin tidak terkendali bisa terus menciptakan konflik persaingan tidak sehat.

Nanat pun mengatakan pihaknya meminta Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menandatangi tuntutannya secara tertulis untuk disampaikan kepada pemerintah pusat. Selain itu diharapkan pihaknya bisa diajak berdelegasi memutuskan perundang-undangan yang tepat berkaitan transportasi.

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement