REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada tuduhan sebagian pihak terhadap pengusaha atau user hiburan yang menggunakan lagu di eksekutif karaoke room tidak mau membayar royalti. Padahal, bertahun-tahun sudah membayar royalti kepada Karya Cipta Indonesia (KCI) dan Wahana Musik Indonesia (Wami)
“Tidak benar itu. Pengusaha hiburan bertahun-tahun membayar royalti dari eksekutif karaoke room kepada KCI dan Wami, ” ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Aspija) Erick Halauwet di Jakarta, Kamis (16/3) siang.
Royalti yang ditetapkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) Rp 50 ribu dianggap pengusaha tidak rasional. Sebab, saat ini tidak lagi tarif dalam hitungan per jam, melainkan sudah dijual dalam satu paket.
“Pengusaha keberatan dengan besaran royalti Rp 50 ribu dari LMKN, karena tidak lagi dijual per jam tapi sudah satu paket. Artinya, sekali bayar mau sampai tutup tempat karaoke itu bayarnya tetap saja segitu, ” katanya.
Kehadiran LMKN yang tidak pernah melakukan sosialisasi kepada pengusaha hiburan cukup merepotkan, termasuk membayar royalti. Sehingga yang biasanya membayar Rp 15-30 juta per tahun, tiba-tiba harus membayar royalti Rp 200-300 juta. “Pasti kaget pengusaha, tiba-tiba harus membayar royalti sebesar itu dan tanpa sosialisasi. Jadi, merasa ditodong di siang bolong, ” ungkapnya.
Pihaknya meminta pengertian kepada LMKN soal tarif royalti dengan memberikan keringanan pembayaran, khususnya untuk 2016. Pajak saja ada amnesti, masa untuk membayar royalti tidak bisa dicarikan solusinya.
"Sekali lagi pengusaha itu mau bayar, tapi tidak kaku. Pajak saja ada amnesti. Saya kira, LMKN harus mengerti di posisi itu dan harusnya ada audiensi dan publikasi ke masyarakat ini terkait aturannya," ujarnya.
Ia mengungkapkan, para pengusaha hiburan malam merasa keberatan atas tarif royalti Rp 50 ribu sudah mengadakan pertemuan dengan LMKN untuk solute terbaiknya. "Kami sudah duduk bersama LMKN, dari empat kali pertemuan masih saja deadlock, lantaran royalti yang harus dibayar 10 kali lipat lebih besar. Misalnya, ada 4000 room x Rp 50 ribu x setahun bisa Rp 700 miliar. Terlebih yang 2016 harus lunas dan 2017 harus bayar di muka, padahal jelas room kan belum dipakai, ” ucapnya.
Namun, yang mengherankan pengusaha juga, edaran dari Kementerian Pariwisatan dan Pemerintah Daerah dari izin operasioalnya cukup menyatkan tempat usaha karaoke, tidak dikenal dengan istilah eksekutif karaoke room. “Ini perlu clear. Instansi antarlembaga dan pemda perlu jelas juga. Kami sih ingin harga royalty yang rasional, misalnya Rp 20 ribu atau bisa disamain dengan tarif karaoke keluarga, ” katanya.
Sementara itu, Iyan dari Wahana Musik Indonesia (Wami) menilai, bahwa kehadiran LMKN-LMK sangat membantu pengelolaan menjadi lebih mudah. “Dampak positif dari UUHC yang baru dan melahirkan LMKN-LMK, jelas membuat penarikan royalty dari para user bisa mudah," katanya.
Jika dibandingkan sebelum ada UUHC, pengambilan royalty itu bisa berbeda-beda, misalnya, bulan ini oleh Wami kemudian bulan berikutnya KCI lalu RAI. “Tapi setelah ada UUHC dan ada LMK-LMKN, tak hanya mudah karena Kordinator Penarik, Penghimpun dan Pendistribusian Royalti (KP3R) secara khusus melakukan penarikan royalti ke para user. Jadi satu pintu, ” katanya.
Setelah dibayar royalti dari user ke LMK, baik Wami dan yang lainnya melalui KP3R tersebut. Untuk selanjutnya didistribusikan kepada pihak terkait sebagai bagian hak ekonomi yang harus mereka dapatkan. “Dari royalti diterima oleh LMK itu, segera didistribuskan kepada para pihak terkait seperti pencipta dan yang lainnya sesuai dengan porsi dan hak ekonominya masing-masing," katanya.