Rabu 22 Mar 2017 18:01 WIB

Radikalisme tidak Lahir dari Paham Agama

Rep: Fuji EP/ Red: Angga Indrawan
 Manager Nasution
Foto: Republika/Fian Firatmadja
Manager Nasution

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komnas HAM, Manager Nasution menyampaikan, berdasarkan sejarah radikalisme ada di setiap zaman. Sesungguhnya radikalisme tidak lahir dari paham keagamaan murni. Radikalisme justru lahir dari aliran politik.

"Kita mencatat ada sekian banyak sebab munculnya radikalisme," kata Manager saat menyampaikan ceramahnya di Diskusi Publik tentang Deradikalisasi Paham Keagamaan di Indonesia yang diselenggarakan Himapol FISIF UMJ, Rabu (22/3).

Ia menerangkan, penjajahan, penindasan kelompok mayoritas terhadap minoritas dan penjajahan kapitalisme terhadap dunia ketiga bisa menimbulkan radikalisme. Selain itu, kezaliman yang dilakukan sebuah rejim dan ketidakadilan penguasa juga pasti melahirkan radikalisme.

Menurutnya, semakin banyaknya kemungkaran dan kemaksiatan di suatu wilayah juga bisa memicu lahirnya radikalisme. Bahkan, ketika penegakan hukum lemah, negara tidak hadir dan polisi tidak menjalankan fungsinya, kondisi seperti ini juga sangat mungkin melahirkan radikalisme.

Intinya, banyak faktor yang bisa memicu lahirnya radikalisme, seperti faktor kemiskinan, negara tidak demokratis dan pemahaman agama yang sempit. Namun, dikatakan Manager, ada satu faktor yang sangat dominan melahirkan radikaisme.

"Ada satu yang menjadi faktor paling dominan melahirkan radikalisme, (yaitu) tirani ekonomi minoritas terhadap kelompok mayoritas," ujarnya. 

Ia menerangkan, tirani ekonomi yang dilakukan minoritas terhadap mayoritas yang rata-rata miskin akan sangat bisa menimbulkan radikalisme. Di Indonesia, ada satu persen sekelompok orang yang menguasai lebih dari 50 persen sumber ekonomi bangsa. Bahkan ada satu orang di negeri ini yang bisa menguasai 5 juta hektare tanah. Menurutnya, kondisi seperti ini menjadi faktor pemicu paling dominan lahirnya radikalisme. 

Ia juga menyampaikan, faktanya radikalisme ada dengan bermacam motif dan argumentasi. Hal tersebut yang menjadi keprihatinan bersama. Selain itu, ada kesalahpahaman atau pahamnya salah ketika menyikapi radikalisme. Ada stigma yang mengaitkan radikalisme dengan kelompok atau agama tertentu. Setigma tersebut semakin menjadi-jadi semenjak ada kelompok radikal yang mengatasnamakan agama tertentu.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement