REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rasulullah meminta umat Islam malu kepada Allah. Dengan rasa malu ini, Muslim bisa menjaga perilakunya. Siapa saja yang benar-benar malu kepada Allah, jagalah kepalanya dan semua yang dikandungnya. Ini berarti menjaga telinga, mulut, dan mata dari hal yang tidak baik.
Jaga juga perut dan semua hal yang berhubungan dengannya, seperti kemaluan, dua tangan, dua kaki, dan hati. Serta, kata Rasul, ingatlah kematian. “Siapa yang melakukan itu semua, orang itu merasa malu kepada Allah,” kata Rasul, seperti dalam hadis yang diriwayatkan Tirmidzi dan Ahmad.
Dengan demikian, ketika Muslim benar-benar merasa malu kepada Allah, dia tidak melakukan korupsi, melanggar hak orang lain, berlaku zalim, serta bertindak tidak benar berseberangan dengan aturan.
Namun, ada rasa malu yang tak pada tempatnya dan mesti dihindari. Mahmud al-Mishri menyebutnya sebagai malu yang tercela. Salah satu contohnya adalah malu dalam menuntut ilmu sehingga membuatnya menjadi bodoh. Istri Rasulullah, Aisyah, pernah menegur Abu Musa al-Asy’ari.
Abu berkata kepada Aisyah, sebenarnya ia ingin bertanya kepada Aisyah tentang sesuatu, namun ia merasa malu. Kemudian, Aisyah meresponsnya. “Tanyakan saja, tidak perlu malu. Saya ini ibumu,” ujarnya. Setelah mendapatkan jawaban itu, Abu lalu bertanya tentang orang yang berhubungan intim tetapi tak mengeluarkan sperma.
Aisyah menyampaikan apa yang pernah dikatakan Rasulullah, apabila kemaluan suami telah menyentuh kemaluan perempuan, keduanya wajib mandi. Di lain waktu, Aisyah memuji perempuan Anshar. Ia mengatakan, sebaik-baik perempuan adalah perempuan Anshar. Mereka tidak malu untuk belajar dalam rangka memahami agama.
Pada saat seseorang meninggalkan amar makruf nahi mungkar karena malu, itu bukanlah malu yang sebanarnya. Sebaliknya, jelas Mahmud al-Mishri, itu adalah kelemahan, ketidakberdayaan, dan kehinaan. Ia menjelaskan, bila melihat seorang Muslim melakukan kemungkaran, kita tak boleh membiarkannya dengan alasan malu.
Ada dua macam rasa malu ini, yaitu yang merupakan bawaan dan lainnya adalah malu yang muncul pada diri seseorang karena adanya latihan keras. Malu yang disebutkan terakhir itulah yang diperintahkan agama. Namun, ada juga sebagian orang yang membiasakan diri berakhlak malu sehingga lama-kelamaan menjadi pembawaan dirinya.
Dua macam rasa malu inilah yang melekat pada diri Rasulullah. Rasa malu yang bersifat bawaan membuat beliau mempunyai rasa malu lebih besar dibandingkan gadis pingitan. Sementara itu, rasa malu yang diupayakan berada dalam tingkatan yang tinggi.
Ibnu Qayyim mengungkapkan, ada beberapa bentuk rasa malu yang mestinya ada pada diri seorang Muslim. Pertama, malu bertindak kriminal.