REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan terhadap Pendidik dan Tenaga Kependidikan butuh kemauan politik untuk mengimplementasikannya.
"Dari pemerintah sebagai pemegang kebijakan," kata Sekjen FSGI Retno Listyarti, kepada wartawan, Selasa (28/3).
Alasannya, kata Retno Listyarti, belum tentu regulasi yang bagus di atas kertas, optimal dalam pelaksanaannya. Karena rendahnya kemauan politik dari pemerintah, terutama pemerintah daerah di era otonomi daerah.
Retno mengapresiasi keluarnya Permendikbud 10/2017. Menurutnya, hal itu menunjukkan, Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud memiliki empati, perhatian dan upaya perlindungan terhadap para guru di Indonesia.
Menurutnya, langkah pertama yang harus dilakukan, adalah sosialisasi atau bedah terhadap regulasi itu. Hal itu bisa dilakukan, baik oleh pemerintah, organisasi profesi guru, atau kelompok yang peduli terhadap pendidikan.
Selain itu, menurutnya, media massa sangat berperan untuk menyosialisasikan permendikbud tersebut. Tujuannya, agar cepat diketahui oleh pihak terkait, seperti guru, orang tua, aparat hukum, dan berbagai pemangku kepentingan. "Hal ini penting karena banyak guru kerap tidak mengetahui apalagi memahami peraturan-perundangan, bahkan yang mengatur dirinya sendiri," ujar Retno.
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerbitkan Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan pada 1 Maret 2017 lalu.
Dalam Pasal 2 dijelaskan, regulasai tersebut memberikan perlindungan pada pendidik dan tenaga kependidikan yang menghadapi permasalahan terkait pelaksanaan tugas, meliputu hukum, profesi, keselamatan dan kesehatan kerja, serta hak atas kekayaan intelektual.
Dalam Pasal 3, regulasi itu mengamatkan kewajiban perlindungan pada pemerintah, pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, satuan pendidikan, organisasi profesi, dan/atau masyarakat. n