REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat Jafar Hafsah mengakui sudah mengembalikan uang Rp 1 miliar ke KPK yang ia peroleh dari mantan Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan berasal dari pengadaan KTP Elektronik (KTP-el).
"Saya tidak tahu kenapa dana itu diberikan ke saya dan saya tidak minta dan (Nazaruddin) tidak menyampaikan uang dari mana, tapi setelah di KPK baru dikatakan uang dari KTP-el, saya sendiri tidak membayangkan bagaimana hubungannya, tapi dialog dengan penyidik ya kalau dikatakan begitu kita tidak sadar, memang kalau dianggapnya (dari KTP-el) ya kembalikan saja," kata Jafar di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (3/4).
Dalam dakwaan disebutkan bahwa Mohamad Jafar Hafsah selaku ketua fraksi Partai Demokrat sejumlah 100 ribu dolar AS yang kemudian dibelikan 1 unit mobil Toyota Land Cruiser nomor polisi B 1 MLH. "Jadi sudah mengembalikan Rp 1 miliar," tambah Jafar.
Jafar mengaku ia selaku ketua fraksi Demokrat biasa menerima dari bendahara Demokrat saat itu yaitu Muhammad Nazaruddin. "Biasa karena dia bendahara fraksi dan pada agustus 2010 saya menjadi ketua fraksi. Dia (Nazaruddin) adalah pengusaha besar dan kaya. Nazar menyampaikannya di kantor," ungkap Jafar.
Uang digunakan untuk operasional Jafar sebagai ketua fraksi. "Konkrit uangnya sekitar Rp 987 juta untuk kegiatan-kegiatan fraksi termasuk mengunjungi korban gempa bumi Mentawai. Saya ke sana. Termasuk juga kegiatan-kegiatan pembinaan DPRD di kabupaten," tambah Jafar.
Sedangkan pembelian mobil Toyota Land Cruiser B 1 MLH itu. "Itu mobil dari tukar tambah dengan mobil saya tipe yang sama sebelumnya, jadi ada juga uang yang tadi di situ," ungkap Jafar.
Terdakwa dalam kasus ini adalah mantan Direktur Jendera Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
Selain keduanya, KPK juga baru menetapkan Andi Agustinus alias Andi Narogong sebagai tersangka kasus yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp2,314 triliun dari total anggaran Rp 5,95 triliun.