REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat Donald Trump menuding Presiden Suriah Bashar al-Assad melewati garis merah dengan melakukan serangan gas beracun terhadap penduduk sipil. Ia juga mengaku sikapnya terhadap Suriah berubah.
Trump mengatakan, serangan itu menewaskan sedikitnya 70 orang. "Banyak korban anak-anak," katanya, Kamis, (6/4). Tudingannya terhadap Assad menempatkan Trump berseberangan dengan Moskow yang mendukung pemerintahan Assad.
"Saya katakan pada kalian, apa yang terjadi kemarin benar-benar tak bisa saya terima," ujar Trump. Ia mengaku, sikapnya terhadap Suriah dan Assad sangat berubah. Terkait apakah Trump akan membuat kebijakan baru bagi Suriah, ia mengatakan, lihat saja nanti.
Wakil Presiden AS Mike Pence mengatakan, saat ini semua pilihan sudah berada di meja. Ia mengatakan hal itu saat ditanyakan apakah akan menjatuhkan Assad. "Sudah waktunya bagi Moskow untuk berjanji menghapus penggunaan senjata kimia sehingga orang-orang di sana tak terancam lagi," ujar Pence.
Para pejabat AS menolak pernyataan Rusia kalau kelompok pemberontak ikut bersalah atas serangan gas beracun tersebut. Trump tak berkomentar soal dukungan Rusia terhadap Suriah. Ia tak menyinggungnya.
Namun Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson mengatakan, sudah saatnya bagi Rusia untuk berpikir hati-hati mengenai dukungannya terhadap Assad. Negara-negara Barat termasuk AS menyalahkan pasukan Assad yang memakai senjata kimia untuk menyerang warga sipil lebih dari empat tahun.
Para pejabat intelijen AS menyatakan, berdasarkan penilaian awal, kematian kemungkinan besar disebabkan oleh gas sarin yang dijatuhkan oleh pesawat Suriah di Kota Khan Sheikhoun, Selasa. Seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri AS mengatakan, Washington belum memastikan itu gas sarin.
Moskow malah berpendapat gas beracun milik pemberontak telah bocor dari sebuah depot senjata yang terkena bom. Pejabat senior Gedung Putih mengatakan, penjelasan Rusia tidak kredibel. "Kami tidak percaya," kata pejabat itu.
Amerika Serikat, Inggris dan Prancis mengusulkan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk serangan gas sarin tersebut. Kementerian Luar Negeri Rusia tak terima dengan hal itu dan menyebutkan resolusi dibuat berdasarkan informasi palsu.
Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan, Moskow akan menekan kasus tersebut dan menyalahkan pemberontak. Wakil Menteri Luar Negeri Gennady Gatilov menambahkan, Rusia akan memveto draf resolusi PBB jika negara-negara Barat memberikan suara tanpa konsultasi lebih dulu.
Juru Bicara Misi Rusia untuk PBB Fyodor Strzhizhovsky mengatakan, Moskow telah mengusulkan rancangan draf resolusi PBB sendiri. Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley mengatakan, ini merupakan ancaman bagi aksi unilateral jika anggota Dewan Keamanan tidak bisa setuju semuanya.
"Ketika PBB terus-menerus gagal dalam tugasnya untuk bertindak secara kolektif maka ada saatnya kita terpaksa untuk mengambil tindakan kita sendiri," kata Haley.
Trump menggambarkan serangan gas itu mengerikan dan tak bisa diungkapkan. Ia pernah menyalahkan Obama karena gagal untuk melaksanakan ancaman kepada Assad ketika ia telah melewati "garis merah". Saat Trump ditanya, apakah ia memiliki tanggung jawab untuk menanggapi serangan itu, ia mengatakan, "Saya sekarang memiliki tanggung jawab."
Dengan adanya insiden baru serangan gas tersebut berarti Trump menghadapi dilema yang sama yang dihadapi pendahulunya, Obama. Apakah Trump berani secara terbuka menantang Moskow dengan risiko terlibat mendalam dalam perang Timur Tengah dengan mencari cara untuk menghukum Assad. Atau Trump berupaya melakukan kompromi dan menerima Assad sehingga ia berisiko tampak lemah, dilansir laman Reuters.