REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak akan ada yang menyangka negeri Katolik ini pernah menjadi bagian dari sejarah Islam. Saat ini jumlah Muslimin hanya sebatas enam ribu jiwa. Sebagai minoritas, mereka selalu menjadi fenomena.
Bahkan, disebutkan angka tersebut didominasi oleh imigran. Lebih dari setengah Muslimin Malta merupakan warga asing ataupun hasil naturalisasi. Hanya pada angka ratusan saja Muslimin yang merupakan kelahiran asli Malta.
Meski sebagai minoritas, komunitas Muslimin selalu menjalin hubungan baik dengan masyarakat umum. Imam masjid bahkan menjalin hubungan baik dengan uskup agung mayoritas penduduk. Muslimin juga sangat vokal dalam menyerukan hak mereka.
Sehingga, hak mereka terpenuhi sebagai komitmen negara untuk kebebasan beragama. Malta Today menyebutkan, meski Katolik agama mayoritas, banyak penganut keyakinan agama lain yang hidup di Malta. Tak hanya Muslimin, terdapat pula penganut Yahudi, Fremansory, Budha, Hindhu, dan sebagainya. Namun, Islam merupakan agama minoritas terbesar di sana.
Dalam menjalankan ibadah, Muslimin memiliki sebuah masjid di Kota Paula, tak jauh dari Ibu Kota Valletta. Di sana juga terdapat sekolah Islam sehingga memungkinkan mereka, baik anak-anak mapun dewasa, mempelajari agama. Sebuah pemakaman Muslimin juga disediakan tak jauh dari areal masjid. Secara umum Musliminin tak banyak kesulitan dalam menjalankan syariat.
Hanya saja dalam kebebasan berjilbab, tokoh Muslimin di Malta, Imam Muhammad masih terus membujuk pihak pemerintah untuk mengizinkan jilbab di tempat kerja. Ia menjalin komunikasi dengan Perdana Menteri Malta mengenai hak Muslimah tersebut.
Sedangkan dalam memenuhi kebutuhan pangan halal, Muslimin Malta tak mengalami kesulitan. Banyak toko halal tersebar di negara tersebut. Untuk daging halal, terdapat Al Medina Halal Butcher milik warga keturunan Suriah yang menjamin pemotongan hewan secara syar'i. Terdapat pula pasar Turki yang selalu menyediakan makanan halal. Selain itu, terdapat pula toko khusus bahan pangan halal di tengah kota bernama Rayan.