REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kata imam memiliki makna ganda. Imam bisa saja pemimpin shalat berjamaah, yang secara etimologis imam merujuk pada orang yang berdiri di depan. Makna lain imam adalah gelar bagi seseorang yang memegang kepemimpinan, kepemerintahan, atau kekuasaan.
Menurut Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, kata ini pun digunakan dalam sejumlah konteks di kalangan Sunni dan Syiah. Mengenai imam yang dimaknai sebagai pemimpin shalat, di Iran, mereka yang memimpin shalat Jumat di masjid besar atau di tempat lainnya, disebut 'Imam Jumah'.
Ensiklopedi Islam menyebutkan untuk menjadi imam shalat berjamaah, seseorang mesti memenuhi syarat-syaratnya. Dia tentu saja beragama Islam dan balig. Seseorang yang sudah balig dapat menjadi imam orang yang balig dan yang belum mencapai tingkatan umur balig.
Syarat lainnya menjadi imam, laki-laki. Laki-laki boleh menjadi imam laki-laki dan perempuan. Perempuan hanya menjadi imam sesama perempuan. Seorang imam shalat haruslah berakal dan diutamakan yang terbaik bacaannya atau terpandai ilmu agamanya atau paling tua.
Dalam Alquran, kata imam merupakan atribut. Namun, banyak hadis Nabi Muhammad SAW menyatakan pemimpin atau penguasa umat Islam merupakan imam. Istilah itu diakui oleh Sunni dan Syiah. Dengan makna, orang yang menjalankan kepemimpinan umum dalam urusan agama dan politik.
Pada bidang pemerintahan, imam padanan kata dari amir dan khalifah. Nabi Muhammad merupakan imam bagi umat Islam di bidang agama dan pemerintahan. Fungsi sebagai nabi tak mungkin digantikan, namun sebagai pemimpin masyarakat perannya dilanjutkan para khalifah.
Guna melanjutkan peran yang ada, muncul pula apa yang disebut dengan lembaga imamah, bertujuan untuk memelihara agama dan mengatur dunia. Dalam hal ini, Sunni dan Syiah memiliki pandangan yang berbeda. Kalangan Sunni berpendapat, imamah terkait persoalan dunia dan diserahkan kepada umat.
Pencalonan seorang imam dilakukan oleh mereka yang memenuhi syarat dan berhak menjadi imam. Seorang ahli fikih, al-Mawardi, dalam bukunya, Al-Ahkam as-Sultaniyah, menyatakan, pengangkatan imam dilangsungkan melalui musyawarah oleh kelompok yang berwenang memilih imam, disebut Ahl al-Ikhtiyar.
Kelompok ini mempunyai tugas memilih seorang imam yang paling pantas dari beberapa calon. Tak ditetapkan jumlah personel yang masuk ke dalam kelompok Ahl al-Ikhtiyar, tetapi ada syarat yang perlu dipenuhi, yaitu adil, berilmu, berwawasan luas, dan bersikap arif.
Beberapa hal yang sebaiknya dimiliki calon imam adalah bersifat adil, berpengetahuan luas, serta sehat pendengaran, penglihatan, dan lisan. Wawasan luas ini agar dapat menangani urusan masyarakat, dan mempunyai keberanian dan kekuatan sehingga mampu melindungi masyarakat dan mempertahankan negara.