REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Muslim Arab (di era keemasan) suka sekali menghiasi lingkungannya, ujar Gustave Le Bon dalam La Civilisation des Arabes. Karakteristik seni masyarakat Muslim Arab pada zaman kejayaan begitu imajinatif, cerdas, megah, dan rimbun dalam dekorasi. Detail-detailnya begitu fantastis.
Hal itu tecermin dari taman-taman yang dibangun di kota-kota Islam pada masa itu. Salah satu kota yang dihiasi taman yang begitu indah adalah Marrakech, Maroko. Di kota itu terhampar sebuah firdaus dunia bernama Taman Agdal, tempat orang-orang menikmati hijaunya deretan pohon zaitun, jeruk, aprikot, lemon, dan tanaman lainnya.
Taman itu dibangun atas perintah penguasa Dinasti al-Muwahhidun, Sultan Abdul al Mukmin bin Ali al Kumi (berkuasa 1130-1163 M) pada 1157. Arsitektur Taman Agdal terinspirasi taman-taman yang menghiasi Andalusia pada masa itu. Taman itu diciptakan sebagai tempat peristirahatan pada musim panas. Taman Agdal hanya berjarak empat kilometer di selatan pusat Kota Jemaa al Fnaa, Marrakech.
Menurut laman archnet, kata agdalberasal dari bahasa Barbar yang berarti padang rumput yang ditutupi oleh dinding. Konon, keindahan taman itu seperti pemandangan di Pegunungan Atlas. Daerah tempat tinggal bangsa Barbar berupa padang rumput hijau yang dibingkai pegunungan tinggi.
Taman Agdal berbentuk persegi empat dengan sedikit bagian dihilangkan di sudut sebelah barat laut taman. Sumbu longitudinal taman ini membentang dari barat laut ke tenggara dengan panjang sekitar 3,1 kilometer dan lebar antara 1,2 km hingga 1,4 km. Pada bagian yang hilang berbentuk persegi dengan panjang 620 meter dan lebar 450 meter.
Taman Agdal menempati tanah produktif yang biasa menghasilkan berbagai jenis buah dan sesemakan. Penanaman pohon diberi jarak sekitar lima hingga sepuluh meter pada setiap pohon bergantung jenisnya. Setiap kebun di dalam taman yang memiliki luas 500 hektare ini dipisahkan oleh jalan setapak.