REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Maskapai Penerbangan Emirates melaporkan penurunan laba sebesar 82,5 persen pada tahun fiskal 2016-2017. Penurunan tajam itu disebabkan oleh adanya persaingan sengit, devaluasi mata uang, dan kebijakan pembatasan perjalanan oleh pemerintah AS.
Perusahaan yang berbasis di Dubai tersebut mengatakan, laba bersih bisnis penerbangannya turun menjadi 340 juta dolar AS hingga 31 Maret 2017. Jumlah tersebut turun dari 1,9 miliar dolar AS pada 12 bulan sebelumnya dan menjadi penurunan laba pertama dalam lima tahun.
"Penurunan tersebut merupakan hasil dari kenaikan dolar AS yang tanpa henti terhadap mata uang di pasar utamanya dan tekanan harga tiket karena persaingan yang ketat," kata Emirates dalam sebuah pernyataan, dikutip Aljazirah.
Kepala perusahaan Emirates Sheikh Ahmed bin Saeed al-Maktoum menambahkan, kondisi dunia yang tidak stabil juga telah memengaruhi permintaan perjalanan udara di sepanjang tahun. Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa peristiwa, seperti Brexit, serangan teror di Eropa, dan pembatasan perjalanan ke AS untuk tujuh negara mayoritas Muslim di Timur Tengah.
Pada April, Emirates mulai mengurangi 20 persen dari 126 penerbangan mingguannya ke AS, yang telah menjadi salah satu pasar potensial maskapai ini. Hal itu dilakukan karena adanya penurunan permintaan, setelah pemerintahan Presiden AS Donald Trump mengeluarkan langkah-langkah keamanan yang lebih ketat.
Dubai merupakan satu dari 10 kota di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim yang terkena larangan membawa laptop dan barang elektronik lainnya di dalam penerbangan ke AS.
John Strickland, konsultan penerbangan yang berbasis di Inggris, berharap Emirates dapat terus mengendalikan pertumbuhannya dalam jangka pendek dan menengah. Terlepas dari tantangan yang dihadapi, maskapai ini tercatat telah membawa 56,1 juta penumpang pada tahun fiskal 2016-2017, naik delapan persen dari tahun sebelumnya.
Menurut Strickland, turunnya pemasukan rata-rata per penumpang disebabkan karena Emirates telah menambahkan lebih banyak tempat duduk. Kapasitas penumpang yang lebih tinggi juga mendorong meningkatnya keperluan bahan bakar sebesar enam persen menjadi 5,7 miliar dolar AS.