Ahad 14 May 2017 22:18 WIB

Menilik Fenomena Usir Mengusir Pejabat dan Tokoh Masyarakat

Rep: Kabul Astuti, Ali Mansur/ Red: M.Iqbal
Wasekjen MUI Ustaz Tengku Zulkarnain saat akan keluar dari pesawat di Bandara Sintang, Kalimantan Barat.
Foto: istimewa
Wasekjen MUI Ustaz Tengku Zulkarnain saat akan keluar dari pesawat di Bandara Sintang, Kalimantan Barat.

REPUBLIKA.CO.ID,Fenomena usir mengusir tokoh masyarakat dan tokoh masyarakat makin kerap disaksikan di berbagai daerah. Terbaru, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah juga diusir oleh sekelompok masyarakat saat tiba di Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (13/5) sekitar pukul 10.20 WITA.

Sebelumnya, Wakil Sekretaris Jenderal MUI Teungku Zulkarnain ditolak datang ke Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama dan pasangannya Djarot Saiful Hidayat juga berulang kali diusir saat kampanye pilkada. Fenomena ini marak.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Sunyoto Usman, mengatakan masalah usir-mengusir sudah lama ada. Hal ini bisa terjadi baik kepada perorangan maupun kelompok. Misalnya, peristiwa kekerasan yang menimpa kelompok Ahmadiyah di Madura. Masing-masing punya latar belakang berbeda. "Akarnya bisa masalah pemahaman, kepentingan politik, dan ekonomi," kata Sunyoto Usman kepada Republika, Ahad (14/5).

Usman menuturkan pengusiran kerap terjadi ketika sikap dan tindakan orang atau kelompok yang diusir sudah tidak dapat ditoleransi. Sikap dan tindakan orang tersebut diyakini penentangnya telah merusak eksistensi, kepentingan, nilai, dan norma yang mengikat kolektivitas mereka.

Lanjut Usman, pengusiran juga bisa disebabkan oleh kecurigaan yang terlalu tinggi. Biasanya, kecurigaan ini didahului perbedaan-perbedaan yang sangat tajam sehingga dianggap melukai kelompoknya. Usman menilai peristiwa pengusiran ini semacam letupan kebencian yang sudah tidak dapat lagi ditoleransi.

Solusinya, menurut Usman, negara harus turun. Negara atau aparat penegak hukum harus hadir untuk mengondisikan masyarakat sebelum kehadiran tokoh/kelompok terkait. Apalagi jika mereka datang untuk menjalankan tugas negara, harus disampaikan pada masyarakat bahwa kaitannya dengan kepentingan negara.

"Ini fenomena sudah lama. Nah, tinggal sekarang akan muncul ruang apa. Ini saya kira kan dalam persoalan Ahok ini ada sebuah ruang baru yang terbentuk, yang kemudian ujaran kebencian ada di sana, dianggap ketidakadilan, dan sebagainya," tutur Usman. Lebih lanjut, Usman menegaskan masalah ini perlu diantisipasi dan didamaikan sebelum kian meluas.

Wakil Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Sodik Mudjahid merasa prihatin terhadap aksi usir mengusir pejabat oleh sejumlah kelompok yang tak bertanggungjawab. Menurutnya, hal ini terjadi karena pemahaman yang dangkal terhadap makna Bhinneka Tunggal Ika.

"Ini adalah akibat pemahaman yg dangkal dan sempit terhadap makna Bhinneka Tunggal Ika dan salah faham bahkan terbalik tentang makna toleransi dan intoleransi. Semua ini akibat krisis tokoh atau krisis pemimpin dan krisis Guru Bangsa," keluh Sodik Mujahid saat dihubungi melalui pesan singkat, Ahad (14/5).

Dalam aksi pengusiran itu, Sodik menilai ada beberapa pihak yang mengaitkan penolakan Fahri dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam kasus penodaan agama. Sodik juga mengaku prihatin tentang konten atau substansi toleran dan intoleran itu sendiri. Kata Sodik, jangan sampai salah paham, apalagi terbalik. Orang yang menista dianggap toleran, orang yang membela agamanya dinista dianggap tidak toleran.

Maka dari itu, agar kasus saling mengusir tidak kembali terjadi, Sodik mengharapkan pemerintah bisa melakukan edukasi terhadap masyarakat yang saat ini tidak mengerti dengan kata toleransi. Juga jangan sampai, hal ini terus dikaitkan dengan persoalan penodaan agama. Pemerintah diharapkan ambil inisiatif untuk rembug tentang hal ini. "Bila perlu pemerintah ambil inisiatif untuk turun, rembug nasional soal Bhinneka Tunggal Ika," terang Sodik.

Selain itu, partai yang memiliki peran penting dalam kasus ini memiliki kewajiban dalam kasus ini. Partai harus memberikan pemahaman mendalam terkait makna Bhinneka Tunggal Ika kepada anggota dan simpatisannya dan juga mengenai pendidikan etika. Apalagi pada 2019 nanti Indonesia memiliki hajat yang lebih besar dan kompleks, yaitu pemilihan umum (serentak). "Saya harap kasus seperti ini tidak terjadi lagi. Cukup ini yang terakhir semuanya harus berkepala dingin," harap Politikus Gerindra itu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement