Senin 15 May 2017 14:38 WIB

Ini 3 Poin Gugatan Praperadilan Miryam

Rep: Mabruroh/ Red: Bilal Ramadhan
Politikus Partai Hanura Miryam S Haryani
Foto: Republika/Yasin Habibi
Politikus Partai Hanura Miryam S Haryani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tersangka kasus pemberian keterangan palsu terkait dugaan korupsi proyek KTP elektronik, Miryam S Haryani mengajukan praperadilan melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada tiga poin gugatan yang dilayangkan oleh Miryam atas penetapan status tersangka kepada dirinya.

Pertama, melalui kuasa hukumnya di dalam persidangan praperadilan Agha Khan mengatakan bahwa KPK selaku termohon dianggap tidak memiliki kewenangan terkait penyelidikan dan penyidikan. Hal ini berdasarkan pasal 22 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pada Pasal 6 Bab III perihal tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi kata dia di sana dibuatkan bahwa termohon tidak memiliki wewenang. Oleh karena itu dinyatakan bahwa penetapan tersangka yang diterbitkan termohon dianggap tidak sah.

Kedua perihal pemberian keterangan palsu di depan pengadilan. Menurutnya dalam Pasal 22 UU pemberantasan korupsi merupakan bentuk khusus dari Pasal 242 KUHP terkait dengan tindak pidana yang sedang diperiksa.

Oleh karena itu kata dia, apabila keterangan yang diberikan oleh saksi dianggap palsu maka pengajuan penyidikan kepada tersangka harus dilaksanakan sesuai dengan Pasal 174 KUHAP. Yang mana berisi bahwa apabila saksi memberikan keterangan palsu maka Hakim ketua harus memperingati sungguh-sungguh memberikan keterangan sebenarnya.

Namun lanjut dia, apabila saksi tetap  pada keterangannya maka hakim atau penuntut umum atau terdakwa dapat memberikan perintah supaya saksi ditahan untuk selanjutnya diperkarakan dengan dakwaan sumpah palsu.

Sehingga panitera akan segara membuat berita acara pemeriksaan keterangan saksi adalah palsu yang kemudian ditandatangani oleh Hakim ketua dan diserahkan segera kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan UU.

"Bila perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi selesai," ucapnya mengutip surat permohonan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (15/5).

Oleh karena sambungnya berita acara tidak lagi dibuat oleh penyidik sebagaimana tindak pidana pada umumnya, melainkan dibuat oleh panitera. Karena prosedur penanganan keterangan palsu merupakan prosedur khusus yang menyimpang dari prosedur penyidikan tindak pidana pada umumnya.

Ketiga, menurutnya penetapan status tersangka kepada Miryam tidak sah karena hanya memiliki satu alat bukti yakni hanya berupa keterangan saksi saja. Padahal syarat untuk menentukan status tersangka minimal penyidik memiliki dua alat bukti yang sah.

"Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka pemohon meminta kepada Hakim Yang Mulia, untuk menerima dan mengabulkan permohonan. Untuk seluruhnya dan menyatakan tidak sah penetapan tersangka atas nama Miryam," kata dia.

Satu lagi Agha Khan menambahkan bahwa bila KPK membandingkan kasus ini dengan kasus Akil Mochtar. Maka Pasal 22 ini dianggap berbeda. "Pasal 22 yang ditetapkan kepada klien kami berbeda dengan Akil Mochtar, kalau itukan perkaranya sudah diputus kalau klien kami kan perkaranya belum diputus sama sekali. Jadi ini yang akan kami uji apakah kewenangan KPK berlaku atau tidak," ujar Agha.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement