Jumat 19 May 2017 14:24 WIB

Proaktif dalam Menunaikan Zakat

Prof. DR. H.M Roem Rowi, MA, Ketua Dewan Pengawas Syariah Laznas LMI, bersama Direktur Utama LMI, Agung Heru Setiawan
Foto: Dok. LMI
Prof. DR. H.M Roem Rowi, MA, Ketua Dewan Pengawas Syariah Laznas LMI, bersama Direktur Utama LMI, Agung Heru Setiawan

Oleh Prof. DR. H.M Roem Rowi, MA*

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perintah shalat dan zakat telah ada saat Nabi Isa ‘alaihissalam lahir ke dunia. Dalam Alqur’an Surat Maryam ayat 31 telah disebutkan bahwa Nabi Isa telah diperintahkan Allah mendirikan shalat dan menunaikan zakat.

Keterikatan shalat dan zakat sangat erat. Terdapat puluhan ayat yang menyandingkan kata shalat dan zakat, tegakkanlah sholat dan datangkanlah zakat (wa aqiimushsholaata wa aatuzzakaata). Juga berarti perintah menegakan shalat (Aaqiimushsholaah).

Maka banyak yang harus ditegakkan dalam shalat mulai dari hati dan niatnya, jiwa raganya, syarat rukunnya, serta tegakkan buah dari shalat yaitu untuk ingat kepada Allah kemudian mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.

Kemudian, tunaikanlah atau datangkanlah zakat (wa aatuzzakaata). Kata datangkanlah zakat ini mengandung makna bahwa orang yang tahu dirinya telah wajib untuk berzakat harus proaktif dalam menunaikan zakatnya kepada petugas zakat.

Petugas zakat pun juga harus proaktif dalam mendatangkan zakat sesuai dalam Surat At-Taubah 103 yaitu “Khud min amwaalihim shodaqotan”. Rasulullah pernah mengutus Mu’adz bin Jabbal  dari Madinah ke Yaman yang berjarak kurang lebih dari 1.365 kilometer untuk mengambil zakat. Ini menunjukkan peran petugas zakat juga sangat diperlukan untuk mendatangkan zakat tersebut.

Banyak hikmah yang terkandung dalam pertemuan antara muzakki dan petugas zakat, contohnya adalah akan terjadi interaksi antara keduanya sehingga bisa saling mengingatkan, saling mencerahkan, saling menasehati, dan juga menyambung silaturahmi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement