REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Etnis Champ pertama kali mengenal Islam adalah saat salah satu ayah mertua Nabi Muhammad, Jahsh, ayah dari Zaynab binti Jahsh, tiba di Semananjung Indocina pada 617 hingga 618 dari Abyssinia, sebuah dinasti yang pernah menguasai Ethiopia, melalui jalur laut.
Etnis Champ Muslim pun memiliki banyak masjid. Pada 1962 saja mereka memiliki 100 unit masjid. Pada akhir abad kesembilan belas, umat Islam Kamboja membentuk komunitas di bawah empat pejabat agama yakni mufti, tuk kalih, raja kalik, dan tvan pake. Di setiap desa wilayah Champ terdapat satu hakim, beberapa katip, bilal, dan labi.
Keempat pejabat tinggi dan hakim dibebaskan dari pajak pribadi dan selalu diundang dalam upacara nasional besar di istana kerajaan. Ketika Kamboja merdeka, komunitas Islam berada di bawah dewan yang beranggotakan lima orang.
Setiap komunitas Islam memiliki hakim yang memimpin masyarakat dan masjid, seorang imam yang memimpin salat, dan seorang bilal yang azan setiap hari. Semenanjung Chroy Changvar merupakan pusat umat Islam di Champ. Banyak pejabat tinggi Muslim tinggal di sana.
Setiap tahun Muslim Champ pergi belajar Alquran ke Kelantan, Malaysia dan melanjutkannya ke Makkah. Di Champ terdapat dua kelompok Muslim besar, Champ Tradisional dan Champ Ortodoks. Muslim Champ Tradisional, selain beribadah sesuai ajaran Islam, mereka masih menjalankan ritual adat mereka. Biasanya, mereka berasal dari pesisir Vietnam.
Mereka terlihat menggunakan pakaian khas putih dan rambut serta wajah mereka dicukur. Mereka pun masih percaya dengan kekuatan sihir. Mereka juga tidak terlalu tertarik menunaikan ibadah haji. Meskipun demikian, mereka selalu merayakan hari besar Islam.
Sementara itu, Muslim Champ Ortodoks memiliki adat campuran karena banyak di antara mereka yang melakukan perkawinan silang dengan Muslim Melayu. Oleh karena itu, budaya Islam mereka telah mengadopsi budaya melayu dan berbicara bahasa melayu.