REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla mengatakan keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme secara langsung dapat dilakukan. Namun, hal itu akan tergantung pada kebutuhan dan memerlukan koordinasi yang baik dengan aparat keamanan lainnya.
"Tergantung kebutuhannya, TNI juga punya kelebihan, kita butuh lebih banyak lagi tapi harus terkoordinir dengan baik," ujar Kalla di Jakarta, Selasa (30/5).
Keterlibatan TNI diusulkan masuk dalam Revisi UU Terorisme. Namun, usulan ini menuai kritikan. Sebagian pihak menilai keterlibatan TNI berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM).
Namun, menurut Kalla, terorisme merupakan tindakan kejahatan yang melanggar HAM. Karena itu, wajar kalau aparat keamanan melakukan tindakan demi kepentingan negara dan bangsa. "Bangsa kan terdiri dari rakyat," kata dia.
Pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme diusulkan masuk dalam revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 yang sedang dibahas DPR dan pemerintah. Namun, pembahasan poin ini berlangsung sangat alot sehingga menghambat proses revisi.
Kalla menyatakan pemerintah tidak perlu menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk mempercepat lahirnya aturan baru terkait pemberantasan terorisme. Sebab, penerapan Undang-Undang No 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme masih cukup baik.
Dia menjelaskan penanganan terorisme di Indonesia oleh Densus 88 Mabes Polri selama ini kerap menuai pujian dari dunia. Hal itu menunjukkan aturan yang berlaku sekarang sudah luar biasa.
Pascaaksi bom bunuh diri di Halte Transjakarta Kampung Melayu, Jakarta Timur, Presiden Joko Widodo menginginkan DPR dan pemerintah mempercepat revisi revisi UU tentang Tindak Pidana Terorisme. Revisi aturan itu akan mempermudah aparat mencegah dan menangani tindak terorisme.