REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembiayaan proyek-proyek kereta api diupayakan tidak lagi menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tapi didorong adanya pembiayaan oleh pihak swasta.
"Moda kereta api ini eco-friendly, ramah lingkungan, banyak diminati, tapi di sisi lain membutuhkan dana yang besar, oleh karenanya kita menjadikan angkutan yang kita andalkan ini tidak menggunakan APBN, tapi menggunakan dana-dana swasta," kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi usai pembukaan Pekan Lingkungan Hidup 2017 di Jakarta, Jumat (2/6).
Budi menjelaskan pelibatan pihak swasta dalam proyek infrastruktur transportasi bukan merupakan hal baru, namun bagaimana hal itu bisa dioptimalkan lagi, terutama untuk proyek-proyek yang memakan dana besar. Dia mencontohkan proyek-proyek KA yang bisa dibangun oleh swasta, di antaranya KA Trans Kalimantan, Trayek Sumatera Utara-Dumai, Sumatera Utara-Toba dan lainnya. "Akan kita elaborasi terus, porsi pemerintah berapa dan swasta berapa, kalau proyek-proyek ini bisa berjalan dengan dana swasta, maka kita bisa lugas membangun, KA bisa membiayai dirinya sendiri," katanya.
Salah satu sektor yang bisa diajak kerja sama, menurut Budi, adalah sektor properti karena akses transportasi, terutama kereta api sangat berkaitan dengan berkembangnya suatu wilayah permukiman. "Yang bisa membiayai itu properti, apabila kita bisa mengakses tempat tertentu dan tempat itu bisa dikembangkan, maka sebenarnya ada crossed, subsidi silang," katanya. Dengan melibatkan pihak swasta, dia mengatakan bisa mendorong suatu kegiatan menjadi lebih terarah (visible).
Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Perkeretaapian Indonesia (Maska) Hermanto Dwiatmoko menilai bahwa swasta jarang tertarik proyek-proyek KA karena membutuhkan investasi yang tidak sedikit serta waktu yang cukup lama, selain itu kembali modal atau untuk menjadikan untuk juga membutuhkan waktu yang panjang. "KA ini investasi jangka panjang, perlu waktu, kembalinya, untung juga lama kenapa swasta kecil sekali yang berminat," katanya.
Selain itu, kata dia, untuk proyek-proyek yang dikerjasamakan dengan pihak asing, baik itu Tiongkok untuk proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung maupun Jepang untuk MRT Jabodetabek, pemerintah harus jeli dalam melihat harga dan kualitas barang. "Masing-masing memiliki teori yang berbeda, kalau Jepang barangnya lebih mahal, kalau China apabila kita betul-betul mengawasi secara ketat juga akan dapat teknologi yang bagus," katanya.