Rabu 07 Jun 2017 09:31 WIB

Ini Alasan Erdogan tak Setuju Sanksi untuk Qatar

Recep Tayyip Erdogan (Ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Recep Tayyip Erdogan (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada Selasa (6/6) menyampaikan ketidak-setujuannya terhadap sanksi yang dijatuhkan atas Qatar setelah hubungan diplomatik antara beberapa negara Arab dan Qatar memburuk.

"Saya ingin dengan jelas mengatakan bahwa kami tidak menyetujui sanksi atas Qatar," kata Erdogan, sebagaimana dikutip kantor berita resmi Turki, Anadolu Agency.

"Perkembangan ini, yang terjadi saat kita memerlukan solidaritas dan kerja sama lebih besar daripada sebelumnya, tidak bagus buat negara mana pun di wilayah ini," kata Erdogan dalam acara iftar (buka puasa) yang diselenggarakan di Ibu Kota Turki, Ankara, oleh Partai Pembangunan dan Keadilan, yang berkuasa di Turki.

Pada hari yang sama, Presiden Turki tersebut melanjutkan upayanya guna meredakan ketegangan setelah keputusan oleh Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Mesir, Yaman, Libya dan Maladewa untuk memutuskan hubungan dengan Qatar dengan tuduhan "Qatar mendukung terorisme".

Menurut beberapa sumber presiden, sebagaimana dilaporkan Xinhua, Rabu pagi, Erdogan telah mengadakan pembicaraan telepon dengan beberapa pemimpin termasuk Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Prancis Emmanuel Macron, Raja Jordania Abdullah II dan Perdana Lebanon Saad Al-Hariri.

Perdana Menteri Binali Yildirim pada Senin mengatakan Ankara berharap semua negara tersebut menciptakan penyelesaian melalui dialog dan ketenangan. "Pemerintah Turki melanjutkan pekerjaannya di setiap tingkat," ia menambahkan.

Sementara itu, Qatar telah menyampaikan kesediannya bagi upaya penengahan yang dapat menyelesaikan krisis diplomatik saat ini dengan semua negara tetangganya. Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Ath-Thani pada Selasa mengatakan Doha percaya krisis itu dapat diselesaikan "memalui perundingan".

Menteri tersebut mengatakan kepada televisi yang berpusat di Qatar, Al-Jazeera, Doha menyampaikan penyesalan mengenai meningkatnya krisis, yang ia katakan tidak diperkirakan. Menteri itu juga menjelaskan Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Ath-Thani, dijadwalkan berpidato kepada rakyatnya pada Selasa, tapi pidato tersebut ditunda atas permintaan emir Kuwait, yang mengatakan lebih banyak waktu diperlukan untuk menyelesaikan krisis itu.

Kuwait telah mempertahankan hubungan dengan Doha dan menjadi alat dalam menyelesaikan krisis sebelumnya di Dunia Arab pada 2014. Saat itu, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Bahrain mengumumkan mereka akan menarik duta besar dari Qatar dengan alasan Doha mencampuri urusan dalam negeri negara lain.

Menteri Luar Negeri Qatar tersebut menambahkan Doha telah menjadi sasaran aksi media yang meningkat setelah peristiwa peretasan pada Mei. Saat itu, Pemerintah Qatar menyatakan Kantor Berita Resmi Qatar menyiarkan "pernyataan palsu" mengenai topik sensitif regional setelah diretas.

Qatar telah lama dituduh menaja terorisme. Negara tersebut telah menghadapi kecaman karena diduga mendukung kelompok perlawanan yang terlibat dalam perang di Suriah dan Iran, pesaing regional Arab Saudi.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement