REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Parlemen Jepang pada Jumat (9/6) kemarin, mengesahkan satu undang-undang yang isinya membolehkan kaisar saat ini, Akihito, untuk melepaskan jabatannya selaku kepala negara. UU baru itu dikatakan juga mengatur tentang suksesi kekuasaan dari sang kaisar kepada penerusnya, yakni Putra Mahkota Jepang Pangeran Naruhito.
Menurut rencana, prosesi pelepasan Akihito dari jabatan kaisar negeri matahari terbit akan berlangsung pada awal 2019. Isu suksesi kepala negara di Jepang sebenarnya sudah mulai berembus sejak Agustus 2016. Ketika itu, Akihito sempat menyatakan keinginannya untuk mengundurkan diri lantaran kondisi kesehatannya yang kian menurun. Di samping itu, usia sang kaisar pun kini sudah semakin renta, yaitu 83 tahun.
Bila ditinjau dari praktik ketatanegaraan, kaisar Jepang sesungguhnya tidak memiliki kekuasaan yang nyata untuk mengendalikan negeri yang dipimpinnya. Secara resmi, ia hanya dianggap sebagai simbol persatuan negara.
Kaisar Jepang menerima duta besar, meresmikan pembukaan parlemen, dan meresmikan kabinet baru. Dia juga bertindak untuk mewakili Jepang di luar negeri. Yang terakhir, aktivitas itu dilakukan Akihito saat melakukan kunjungan kenegaraan ke Vietnam, beberapa waktu lalu.
World Bulletin melansir, UU baru yang mengatur tentang pengunduran diri kepala negara ini hanya berlaku untuk Kaisar Akihito. Pemerintahan konservatif PM Shinzo Abe tampaknya enggan untuk membuat perubahan yang lebih luas terhadap tradisi yang sudah berlangsung selama berabad-abad di Jepang, di mana sebelumnya belum pernah ada kasus kaisar yang mengundurkan diri.