REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu mazhab fikih yang pernah hidup dan berkembang di dunia Islam adalah mazhab az-Zahiri. Nama ini memang tak sepopuler empat mazhab yang lain, seperti Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali. Namun, dalam sebahagian kitab-kitab fikih, mazhab ini selalu diperhitungkan sebagai pembanding dengan mazhab yang lain.
Mazhab az-Zahiri muncul sekitar abad ketiga Hijriyah di Irak. Didirikan oleh seorang ahli hukum (fakih) bernama Dawud bin Khalaf al-Isfahani. (Lahir di Kufah 200H/815M dan wafat di Baghdad, 270H/883M).
Dawud bin Khalaf al-Isfahani adalah putra dari seorang sekretaris (katib) hakim di Isfahan pada masa Khalifah al-Ma’mun. Dia mempelajari fikih dari tokoh-tokoh mazhab Syafi‘i, seperti Abu Saur Ibrahim bin Khalid Yamani al-Kalbi dan Ishaq bin Rahawah.
Bahkan, seperti dikemukakan Abu Zahrah, pemikiran hukum Dawud mungkin disebabkan oleh pengaruh yang "berlebihan" dari kegigihan Imam Syafi‘i dalam membela kedudukan sunah sebagai sumber hukum Islam di zamannya. Di saat-saat sejumlah fakih (ahli hukum Islam) mengabaikan sunah, bahkan ada kelompok yang disinyalir inkarsunah.
Dengan latar belakang pendidikan yang demikian, ia berpaling dari mazhab Hanafi yang dianut oleh ayahnya. Akan tetapi, Dawud sendiri bukan penganut mazhab Syafi‘i, melainkan mendirikan mazhab atas namanya sendiri, mazhab ad-Dawudi yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan mazhab az-Zahiri.
Inti pokok dari paham mazhab az-Zahiri ini berkisar pada masalah sumber hukum dan cara memahaminya. Menurut mazhab ini, sumber hukum fikih hanya nash dalam arti Alquran dan sunah. Dalam hal tertentu, mazhab ini menerima ijmak para sahabat.
Penganut Mazhab az-Zahiri menolak rakyu (akal) dengan segala bentuknya. Mereka tidak mau menggunakan kias, istihsany, al-maslahah al-mursalah, dan sejenisnya. Mereka juga menentang taklid.
Mazhab ini menganggap hanya Alquran dan sunah sebagai sumber hukum, sedangkan masalah-masalah yang tidak disinggung nash akan dikembalikan hukumnya dengan hukum istishab. Pandangan ini diambil berdasarkan firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 29 yang artinya, "Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu."
Selanjutnya, di dalam memahami kandungan nash Alquran dan sunah, mazhab ini hanya mengambil arti zahir (lahir) lafal nash dan sama sekali tidak melakukan takwil terhadap nash tersebut. Karena prinsip semata-mata mengambil arti zahir nash inilah maka mazhab ini diberi nama mazhab az-Zahiri, suatu mazhab fikih yang secara ekstrem hanya berpegang pada arti zahir nash dan menolak takwil.
Menurut analisis sebagian ahli, mazhab ini muncul sebagai reaksi terhadap beberapa pemikiran, terutama di bidang fikih yang berkembang pada abad kedua Hijriyah. Pada abad itu terjadi pertentangan antara ahlulhadis (golongan yang dalam menetapkan hukum berpegang pada Alquran dan hadis, tidak mau menggunakan ijtihad) dan ahlur ra’yi (golongan yang dalam menetapkan hukum selain berpegang pada Alquran dan hadis juga menggunakan akal pikiran atau ijtihad).
Pada waktu yang sama, telah lahir pula gerakan Batiniah di kalangan kaum Syiah, suatu aliran yang hanya mengambil arti batin dari nash. Selain daripada itu, telah lahir pula aliran Muktazilah yang memandang akal lebih utama dan lebih menentukan daripada wahyu dalam menetapkan segala persoalan agama. Mazhab az-Zahiri lahir sebagai reaksi terhadap aliran-aliran yang berkembang di masa itu, terutama aliran Batiniah kaum Syiah.
Dalam sejarah perkembangannya, mazhab az- Zahiri ini pernah berkembang pesat dan tersebar luas serta mempunyai pengikut yang tidak sedikit jumlahnya. Pada abad ketiga dan keempat Hijriyah, az-Zahiri merupakan mazhab fikih keempat di dunia Islam, setelah mazhab Syafi‘i, mazhab Hanafi, dan mazhab Maliki.
Mazhab ini pernah tersebar lebih luas dan mempunyai pengikut yang lebih banyak daripada mazhab Hanbali. Akan tetapi, pada abad berikutnya, yakni abad kelima, mazhab az-Zahiri mulai mengalami kemunduran dan kehilangan pengaruh serta pengikut di dunia Timur.
Hadirnya seorang tokoh mazhab Hanbali kenamaan Muhammad bin Husain bin Muhammad Abu Ya’la al-Farra’ al-Hanbali yang tak lain adalah seorang ulama usul fikih yang juga memiliki pengetahuan luas tentang Alquran dan hadis (wafat 458 H/1065 M), telah mengangkat kedudukan mazhab Hanbali dan berhasil menggeser posisi mazhab az-Zahiri. Sejak saat itu, mazhab az-Zahiri perlahan-lahan lenyap dari belahan bumi dunia Islam.
Akan tetapi, ketika popularitas dan pengaruh mazhab az-Zahiri memudar di dunia Timur, justru bintang az-Zahiri memancarkan sinar terang di ufuk Barat, yakni di Andalusia. Hidup dan berkembangnya mazhab ini di Andalusia bukan karena dianut oleh banyak pengikut, melainkan karena tampilnya seorang tokoh yang bermata pena tajam, fasih, berargumen kuat, dan gigih membela mazhabnya. Tokoh tersebut adalah Ibn Hazm al-Andalusi.
Proses penyebaran dan perpindahan mazhab az-Zahiri ke Andalusia telah terjadi ketika Dawud bin Khalaf masih hidup. Menurut suatu keterangan, pada abad ketiga Hijriyah banyak ulama Andalusia pergi merantau ke Timur untuk menimba ilmu.
Di antara mereka itu ada yang bertemu langsung dengan tokoh pendiri mazhab, seperti Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) dan Dawud bin Khalaf al-Isfahani. Setelah kembali ke Andalusia, mereka menyebarkan paham mazhab-mazhab fikih yang mereka pelajari di Timur, termasuk paham mazhab az-Zahiri. Di antara mereka yang menyebarkan paham mazhab yang disebut terakhir adalah Munzir bin Sa‘id al-Balluti (273 H-355 H).
Mazhab ini mencapai masa gemilangnya pada masa Ibn Hazm. Melalui tokoh ini, mazhab az-Zahiri tumbuh kuat di Andalusia. Namun, karena kematiannya pula, mazhab ini dalam waktu relatif singkat menjadi lemah.
Meskipun dewasa ini mazhab az-Zahiri tidak mempunyai pengikut sebanyak pengikut mazhab fikih yang empat, paham dan ide-idenya masih terpelihara baik dan dapat dikaji di dalam berbagai karya tulis yang ditinggalkan oleh para tokohnya, baik karya Dawud bin Khalaf al-Isfahani sendiri maupun karya Ibn Hazm al-Andalusi.
Saat ini, kendati mazhab az-Zahiri tak lagi dianut secara fanatik oleh pengikutnya, pola pikir mazhab Az-Zahiri banyak dipahami oleh sebahagian umat Islam. Misalkan, mereka yang tak mau menerima penafsiran-penafsiran secara logika dalam Alquran dan sunah. Bagi mereka, pemahaman Alquran dan sunah hanya terpaku seperti apa yang dilakukan umat Islam di zaman Rasulullah SAW saja. Banyak kalangan menilai, pola pikir seperti ini sangat sempit dan menjadikan Islam seolah-olah kaku dalam menerima perkembangan zaman.