REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi yakin dapat menjerat sejumlah korporasi diduga melakukan tindak pidana korupsi pada tahun ini sebagai implementasi Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi.
"Kemarin sudah ada kesepakatan, sudah ada 1 atau 2 korporasi yang akan kami naikkan ke penyidikan, tapi saya lupa korporasi mana saja," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Kamis (29/6) malam.
Korporasi tersebut adalah korporasi yang pengurusnya sudah diproses di KPK, dan bahkan putusannya sudah berkekuatan hukum tetap. Namun menjadikan korporasi sebagai tersangka korupsi bukanlah dengan membebankan pidana pemenjaraan, tapi menerapkan denda kepada korporasi tersebut.
"Kalau sesuai dengan UU Pemberantasan Korupsi itu kan pasal 20 itu denda korporasi berupa denda maksimal ditambah sepertiganya, kalau maksimal denda dalam pasal 2 itu kan Rp1 miliar, sebetulnya tidak besar juga untuk ukuran korporasi, tapi kalau hukumannya pengembalian kerugian negara, kewajiban merehabilitasi kerusakan itu yang besar, hukuman tambahan itu kan ada selain denda," ujar Alexander pula.
Pasal 20 UU Pemberantasan Tipikor menjelaskan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya (ayat 1). Sedangkan pada ayat 2 disebutkan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oieh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah sepertiga (ayat 7).
"Korupsi itu sejauh ini yang dilihat ada kerugian negaranya dalam pasal 2 dan 3, serta pasal yang lain dilihat sebagai pelaku yang bersama-sama didakwa untuk memperoleh proyek atau mendapatkan izin, jadi dari perbuatan itu saja, kalau suap juga dendanya tidak tinggi-tinggi," katanya pula.
Ia meyakini bahwa pemidanaan korporasi tersebut juga tidak akan ditolak hakim bila nanti dibawa ke persidangan.
"Kekhawatirannya kan nanti proses pembuktiannya susah, misalnya siapa yang dipanggil mewakili korporasi. Pasti korporasi tidak mungkin datang sendiri ke persidangan, jadi yang datang pasti pengurusnya, itu dari awal suatu hal yang kita pahami. Kalau pengurusnya yang jadi tersangka, diletakkan bersama-sama dengan korporasi, saya melihatnya sebetulnya pemidanaan korporasi sudah jauh-jauh hari tidak perlu menunggu keberadaan perma itu," ujar Alexander.
Perma No. 13 Tahun 2016 itu mengindentifikasi kesalahan korporasi baik berbentuk kesengajaan maupun karena kelalaian, yaitu pertama apabila kejahatan dilakukan untuk memberikan manfaat atau keuntungan maupun untuk kepentingan korporasi.
Kedua, apabila korporasi membiarkan terjadi tindak pidana. Ketiga, apabila korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan termasuk mencegah dampak yang lebih besar setelah terjadi tindak pidana.