Ahad 09 Jul 2017 19:27 WIB

Yusril: Soal Ambang Batas, Pemerintah Ingin Jegal Calon Lain

Rep: Ali Mansur/ Red: Ratna Puspita
Yusril Ihza Mahendr
Foto: Antara/ Wahyu Putro A
Yusril Ihza Mahendr

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan para pendukung penerapan ambang batas pencapresan atau presidential threshold dalam Pemilihan Umum (Pemilu) untuk menggunakan hasil Pileg 2014 sama sekali tidak berlandaskan hukum. Dia pun menuding pemerintah dan sejumlah partai politik, yaitu PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Nasdem, yang mengusulkan ambang batas pencapresan 20 persen berniat menjegal calon lain. 

"Argumen Mendagri Tjahjo (Kumolo) dan sejumlah parpol DPR bukanlah logika hukum dan konstitusi, tapi logika kepentingan politik belaka untuk menjegal calon-calon lain di luar kepentingan mereka," kata dia melalui keterangan tertulis, Ahad (9/7). 

Menurut Politikus Partai Bulan Bintang (PBB) itu, persentase jumlah kursi dan suara hasil Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 sudah pernah digunakan untuk pilpres pada tahun yang sama. Dia menambahkan peta politik selama lima tahun bisa saja sudah berubah. Karena itu, UUD 1945 mengamanatkan pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun. 

Yusril pun mengkritik pernyataan Presiden Joko Widodo yang menghubungkan kemajuan negara dengan usulan pemerintah menerapkan ambang batas pencapresan atau presidential threshold sebesar 20 persen kursi parlemen. 

Beberapa waktu lalu, Jokowi menyatakan Pilpres 2014 sudah menggunakan ambang batas pencapresan 20 persen. Jokowi pun mempertanyakan kapan Indonesia maju kalau Pilpres 2019 menerapkan ambang batas nol persen. 

Yusril pun menyatakan pernyataan Presiden tidak jelas dasar logikanya. Dia pun mempertanyakan apa hubungan angka 20 persen presidential threshold dengan kemajuan bangsa dan negara ini? 

"Jokowi adalah presiden pertama yang dipilih dengan syarat pencalonan 20 persen. Apa pembangunan sosial-ekonomi negara ini tambah maju selama dipimpin Presiden Jokowi?" tanya Yusril.

Jika yang dimaksud Jokowi terkait dengan kemajuan demokrasi maka Yusril kembali mempertanyakan apakah presidential threshold 20 persen membuat demokrasi Indonesia menjadi lebih maju dibandingkan tanpa presidential threshold? Padahal, dia menambahkan tanpa penerapan ambang batas pencapresan berarti memberikan kesempatan yang sama kepada semua parpol peserta Pemilu. 

Dia juga mengkritik pernyataan Mendagri bahwa presidential treshold 20 persen itu diperlukan agar presiden terpilih mendapat dukungan kuat dari DPR. "Pertanyaannya, kalau yang dukung hanya 20 persen sedangkan yang 80 persen tidak dukung, apa artinya angka 20 persen itu?" kata dia. 

Menurut dia, berapapun angka persentasenya, aturan ambang batas pencapresan tidak sesuai dengan UUD 1945 atau inkonstitusional. "Saya dengar ada usulan kompromi jalan tengah: presidential threshold tetap ada tapi angkanya 10 persen dan menggunakan prosentase hasil Pileg 2014 yang sudah basi itu," ujar dia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement