Rabu 12 Jul 2017 16:15 WIB

Memahami Definisi Kebahagiaan

Ilustrasi Keluarga Bahagia
Foto: pixabay
Ilustrasi Keluarga Bahagia

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Kebahagiaan merupakan kebutuhan asasi umat manusia. Banyak persepsi soal kebahagian. Sebagiannya sangat berorientasi pada duniawi. Sebagiannya ukhrawi, tak sedikit bahkan nihil orientasi.

Dalam tradisi Islam, kebahagiaan pada dasarnya merujuk pada salah satu kata dalam bahasa Arab yang disebut sa’adah. Sa’adah adalah kata bentukan dari suku kata sa’ada, yang berarti bahagia.

Definisi bahagia, dalam tradisi ilmu tasawuf, seperti yang disampaikan Imam al-Ghazali, dalam karyanya yang monumental Ihya Ulumiddin, merupakan sebuah kondisi spiritual, saat manusia berada dalam satu puncak ketakwaan. Bahagia merupakan kenikmatan dari Allah SWT. Kebahagiaan itu adalah manifestasi berharga dari mengingat Allah.

Menurut tokoh bergelar Hujjatul Islam ini, puncak kebahagiaan manusia adalah jika ia berhasil mencapai tahap makrifat, telah mengenal Allah SWT. Ketahuilah, katanya, kebahagiaan datang bila kita merasakan nikmat dan kesenangan. Kesenangan itu menurut tabiat kejadian masing-masing.

Kesenangan mata ialah melihat rupa yang indah. Kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu. Demikian pula semua anggota tubuh yang lain dari tubuh manusia. Adapun kenikmatan hati ialah teguh makrifat kepada Allah. Hati itu dijadikan untuk mengingat Tuhan.

Seorang hamba rakyat akan sangat gembira kalau ia dapat berkenalan dengan wazir. Kegembiraan itu naik berlipat ganda kalau ia dapat berkenalan pula dengan raja. Tentu saja berkenalan dengan Allah merupakan puncak dari segala macam kegembiraan, lebih dari apa yang dapat dikira-kirakan oleh manusia. Tidak ada makhluk di dunia ini yang lebih mulia dari Allah. Tidak ada makrifat yang lebih nikmat daripada ma’rifatullah.

Allah SWT sudah mengingatkan, andaikan penduduk suatu wilayah mau beriman dan bertakwa maka pasti akan dibuka pintu-pintu berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan ajaran-ajaran Allah. Maka Allah mengazab mereka karena perbuatan mereka sendiri (QS al-A’raf [7]: 96).

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan dengan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Allah memberikan kepada mereka pakaian, kelaparan, dan ketakutan disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (QS an-Nahl [16]: 112).

Sebuah syair dalam bahasa Arab menyebutkan, “Wa-lastu araa as-sa’adata jam’u maalin wa-laakin at-tuqaa lahiya as-sa’iidu.” Artinya, kebahagiaan bukanlah mengumpulkan harta benda, tetapi takwa kepada Allah.

Selain itu, definisi kebahagian juga dicoba diuraikan oleh para pemikir Muslim masa kini. Cendekiawan Muslim asal Bogor, Prof Syed Muhammad Naquib Al-Attas, mendefinisikan kebahagiaan sebagai kesejahteraan yang bukan hanya lahiriah. Kebahagiaan tidak merujuk pada ketenangan pikiran. Ini adalah keyakinan diri akan hakikat segala yang ada.

Kebahagiaan adalah keadaan diri yang yakin akan Allah. Kebahagiaan datang sebagai penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri berdasarkan keyakinan dan menuruti batinnya. Kebahagiaan merupakan kondisi hati yang dipenuhi dengan iman dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu.

Kebahagiaan ialah keyakinan akan kebenaran akhir dan pemenuhan tindakan dalam kesesuaian dengan keyakinan tersebut. Kebahagiaan adalah kondisi permanen kesadaran yang alamiah terhadap apa yang permanen dalam manusia dan diterima hati (qalb).

Kebahagiaan merupakan kedamaian dan keamanan serta ketenangan hati (tuma’ninah). Kebahagiaan mengakibatkan seseorang mengenal Allah. Kebahagiaan memunculkan keimanan. Pun, kebahagiaan merupakan pengenalan tentang Tuhan sebagaimana Dia menggambarkan diri-Nya dalam wahyu. Selain itu, juga mengetahui tempat yang benar dan tepat dalam alam ciptaan dan hubungan yang tepat dengan Pencipta.

Menempuh kebahagiaan dilakukan dengan melaksanakan apa yang diwajibkan, yaitu ibadah. Kondisi yang dihasilkannya berupa keadilan (’adl). Kebahagiaan dalam kehidupan bukan akhir terhadap dirinya sendiri, yakni bahwa akhir dari kebahagiaan merupakan cinta Tuhan.

Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari karena menolak diangkat menjadi hakim negara. Sehingga dengan demikian, kebahagiaan tak dapat diukur dari takaran materi dan duniawi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement