Kamis 13 Jul 2017 19:51 WIB

Djamal Aziz Bantah Terima Uang Proyek KTP-El

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Mantan anggota Komisi II DPR Djamal Aziz berjalan keluar gedung KPK seusai diperiksa di Jakarta, Kamis (13/7).
Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak
Mantan anggota Komisi II DPR Djamal Aziz berjalan keluar gedung KPK seusai diperiksa di Jakarta, Kamis (13/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sama seperti saksi lainnya, mantan anggota DPR RI dari Fraksi Hanura, Djamal aziz membantah kenal dengan Andi Narogong. Hal tersebut ia ungkapkan saat dirinya menjalani pemeriksaan sebagai saksi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus korupsi proyek pengadaan KTP-elektronik (KTP-el) atas tersangka pengusaha Andi Narogong.

Ia juga membantah dirinya menerima uang sebesar 37 ribu dollar AS dari proyek tersebut saat dirinya masih berada di Komisi II DPR RI. Djamal yang kini merupakan kader Partai Gerindra itu juga mengklaim tak tahu menahu bila namanya disebut dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto menerima uang dari proyek yang ditaksir merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.

"Ya nggak ngerti aku, sapa sing (yang) nyebut iku (itu)? Yang itu kamu tanya jangan tanya saya, saya nggak ngerti," ujarnya di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (13/7).

Terdakwa dalam kasus itu adalah mantan direktur jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto. Irman sudah dituntut tujuh tahun penjara, sedangkan Sugiharto dituntut lima tahun penjara.

KPK juga telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, mantan Anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani, dan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golongan Karya Markus Nari sebagai tersangka dalam perkara tersebut. Andi disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Miryam S Haryani hari ini didakwa melanggar pasal 22 juncto pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Markus Nari disangkakan melanggar pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement