REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Persekutuan pimpinan Arab Saudi, yang berperang di Yaman, mencegah penerbangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membawa petugas badan bantuan ke ibu kota yang dikuasai Houthi, Sanaa, pada Selasa (18/7). Alasannya, tiga wartawan asing juga ikut dalam penerbangan.
Persekutuan itu, yang ikut dalam perang Yaman pada 2015 untuk mendukung pemerintah yang diakui antarbangsa, Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi, menguasai wilayah udara Yaman. Pasukan itu dapat mencegah penerbangan tanpa izin lebih dulu.
Sumber penerbangan mengatakan, pesawat PBB dicegah terbang dari Jibuti ke Sanaa karena tiga wartawan BBC berada di dalamnya. Juru bicara Perserikatan Bangsa-Bangsa memastikan berita itu.
"Persekutuan itu menyatakan keamanan wartawan tersebut tidak dapat dijamin di daerah kekuasaan pemberontak dan menyarankan ketiga wartawan itu melakukan perjalanan dengan penerbangan niaga," kata Ahmed Ben Lassoued, juru bicara Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Penggalangan Urusan Kemanusiaan (OCHA) di Yaman.
"Sangat disayangkan dan sebagian menjelaskan mengapa Yaman, salah satu wilayah bencana kemanusiaan terbesar di dunia, tidak mendapat cukup perhatian di media antarbangsa," katanya.
Sumber di persekutuan itu menyatakan, pemerintah Yaman adalah satu-satunya yang berhak mengeluarkan visa untuk orang asing. Jalur masuk juga harus melalui penerbangan niaga lewat bandar udara Aden, yang berada di bawah kendalinya.
"Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak peduli dengan pengangkutan wartawan, kecuali untuk meliput kegiatannya," kata sumber di persekutuan itu, dengan menambahkan bahwa badan dunia itu harus memastikan keselamatan wartawan tersebut dan memastikan mereka tidak melakukan kegiatan lain.
Badan kemanusiaan yang berpusat di Amerika Serikat, CARE International menyatakan, sekretaris jenderalnya, Wolfgang Jamann, dijadwalkan ke Sanaa untuk melihat wabah kolera. Wabah itu telah membunuh hampir 1.800 orang sejak April. "Itu satu-satunya jalan masuk dan keluar Sanaa," kata Wael Ibrahim, direktur negara CARE di Yaman.
Negara miskin Arab itu hancur oleh perang, yang telah menewaskan lebih dari 10 ribu orang dan membuat lebih dari tiga juta orang mengungsi. "Kekurangan peliputan juga menghambat upaya kemanusiaan menarik perhatian masyarakat dunia dan dermawan ke bencana kemanusiaan di negara tersebut," kata Ben Lassoued.