REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suatu saat, sebuah dialog terjadi antara seorang anak perempuan dan ayahnya. Percakapan ini berlangsung setelah sang anak menghibahkan unta pemberian ayahnya kepada orang lain.
“Wahai putriku, bila dua orang yang mulia berkumpul menguasai harta, maka niscaya akan cepat habis. Bagaimana bila harta itu saya pegang dan kamu berdiam diri, atau kamu yang pegang hingga tak tersisa apa pun?” kata sang ayah.
Dengan penuh santun dan kedewasaan, anak perempuan itu menjawab, “Saya tidak berkenan memegang harta.” Ayahandanya menimpali serupa. Keduanya sepakat tidak ingin mendominasi pengelolaan harta. Akhirnya, mereka mufakat untuk membagi rata. Semuanya berjalan wajar dan harta mereka dikelola secara proporsional.
Perbincangan itu merupakan penggalan dialog antara Hatim ath-Thai dan putrinya, Safanah. Baik ayah ataupun putrinya sama-sama dikenal dermawan dan berhati emas. Mengingatkan pada sebuah pepatah yaitu buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Perangai anak sedikit banyak akan terpengaruh dengan tabiat dan karakter orang tua. Berapa pun kadarnya, kebaikan ataupun keburukan seseorang bias dari perilaku ayah ataupun ibunya. Ini setidaknya juga terbukti sepanjang sejarah hidup manusia.
Safanah lahir dari keluarga pembesar suku Thai. Garis keturunannya dikenal dengan keluarga ningrat. Ia memiliki nama lengkap Safanah binti Hatim bin Abdullah bin Sa'ad bin al Hasyraj bin Imri' al-Qais bin Addi bin Akhzam bion Rabiah bin Jarwal bin Tsa'al bin Amar bin al-Ghauts bin Tha' ath-Thai.
Lahir di lingkungan yang berlimpah harta dan kebahagian, tak membuatnya tumbuh sebagai sosok angkuh dan sombong. Ini tak terlepas dari keteladanan yang dicontohkan oleh Hatim. Ayahnya tersebut, tersohor dengan kedermawanannya. Namanya bahkan disebut-sebut sebagai ikon filantropi ketika itu. Soal kedermawanan, Hatimlah jagonya. Nasihat soal kebaikan, maka Hatim dijadikan sebagai representasi. Akrim min Hatim, berbuatlah kemuliaan lebih baik dari Hatim.
Abu Safanah, demikian sapaan ayahnya yang merujuk pada status putri pertamanya itu, tak dibuat gelap oleh gemerlap dunia. Ia sering menyediakan hidangan, baik bagi tamu atau siapa pun yang membutuhkan, meskipun tak jarang kebaikannya itu menomorduakan keluarganya. Selain dikenal baik hati, Abu 'Addi, demikian dijuluki dengan nama anak keduanya, Addi, piawai menyusun kata, frase, dan bermain kosakata. Ia adalah penyair andal.
Rasulullah SAW mengakui keluhuran pekerti ayah Safanah. Tatkala Safanah menceritakan perihal sosok sang ayah kepada Nabi, Rasul memberikan komentar luar biasa. “Wahai anak perempuan, semua sifat yang dimiliki ayahmu sejatinya adalah karakter Mukmin yang sebenarnya. Seandainya ayahmu Muslim, kita akan sangat menyayanginya. Tinggalkan Safanah karena ayahnya menyukai pekerti luhur, dan Allah SWT juga mencintai hal yang sama.” Namun sayang, sampai menghembuskan nafas terakhirnya pada 46 Hijriah, Abu Safanah belum memeluk Islam.