Sabtu 26 Aug 2017 16:20 WIB

Ini Saran Pengamat untuk Kendalikan ‘Ternak Akun’ Medsos

Rep: Kabul Astuti/ Red: Ratna Puspita
Hoax. Ilustrasi
Foto: ABC News
Hoax. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Lembaga Riset CISSReC, yang juga pakar keamanan siber, Pratama Persadha mengatakan pemerintah perlu melakukan pengendalian agar tidak ada pihak atau kelompok yang membuat akun palsu atau ‘ternak akun’ media sosial (medsos). Ini menyusul penangkapan tiga orang yang diduga sebagai anggota Saracen, grup yang memproduksi konten kebencian dan hoax.

Menurut Pratama, pengendalian terhadap ‘ternak akun’ akan mempersulit para pemain layanan konten hoax ini untuk bergerak. Sindikat Saracen misalnya, yang banyak memproduksi konten meme untuk menjatuhkan nama baik seseorang, sesuai pesanan.

Dari keterangan polisi, Saracen mempunyai ratusan ribu akun untuk menyebarkan konten-konten negatif hingga berseliweran di dunia maya. Untuk satu pesanan konten negatif yang mereka produksi dan sebarkan, kelompok ini mematok tarif sampai puluhan juta rupiah.

Dia pun menyarankan pemerintah perlu melakukan langkah preventif dengan cara menegakkan aturan pembelian nomor seluler baru. Ini untuk mengantisipasi adanya akun-akun palsu yang digunakan dalam penyebaran konten negatif. 

Di Indonesia, Pratama menjelaskan, setiap orang bisa dengan bebas membeli nomor seluler baru.  Padahal, nomor seluler adalah syarat untuk membuat email dan media sosial, termasuk instan messaging seperti Whatsapp dan Telegram.

Menurut Pratama, pemerintah seharusnya bisa memberlakukan aturan yang ketat. Misalnya, pembelian nomor seluler harus diikuti dengan infomasi e-KTP.

"Ada batas yang jelas untuk pembelian, sehingga setiap nomor aktif yang teresgitrasi dengan e-KTP. Ini jelas akan mempersulit para pelaku untuk melakukan ‘ternak akun’,” kata Pratama kepada Republika, Sabtu (26/8).\Ia menambahkan pemerintah juga bisa dengan tegas meminta kepada penyedia layanan media sosial untuk melakukan filter konten. Hal yang sama sudah dilakukan Telegram sebagai syarat membuka blokir di Indonesia.

Pratama melanjutkan jika masih banyak konten hoax bermunculan di sebuah media sosial maka sebaiknya pemerintah memberikan peringatan agar konten negatif tersebut bisa berangsur berkurang dan hilang.

Terkait pemesan yang isunya banyak dari kalangan politisi, Pratama mengimbau masyarakat memercayakan pihak berwajib untuk mengusut lebih lanjut. Beredarnya dugaan-dugaan justru akan menambah kisruh di masyarakat. 

Tapi dari keterangan pihak berwajib, Pratama berpendapat, Saracen memang memanfaatkan dua pihak untuk diadu domba. "Mereka mempunyai akun untuk memojokkan umat Islam, maupun juga mempunyai akun untuk memojokkan umat beragama diluar islam. Mereka mengambil keriuhan media sosial dari isu yang mereka sebar," ujar pakar keamanan siber ini.

Menurut dia, masyarakat Indonesia umumnya baru benar-benar menggunakan media sosial langsung dalam genggaman (smartphone) sekitar lima tahun terakhir. Masyarakat lalu mulai ramai mengomentari ranah politik sejak 2012. 

Dia menambahkan satu kelompok mempunyai tim sendiri, demikian pula kelompok lain. Kemudian, beberapa pihak melihat peluang ini. 

“Mengapa tidak terus diramaikan saja, meski kontestasi pemilu sudah berakhir. Korbannya jelas masyarakat. Karena itu pemerintah selain bertindak tegas lewat pendekatan hukum oleh aparat, sebaiknya juga menertibkan penjualan nomor seluler, di sana kuncinya," ujar dia. 

Tidak hanya itu, Pratama menambahkan masyarakat juga harus diedukasi sejak dini agar menjadi warganet yang cerdas. Pemerintah harus mendorong warganet tanah air sibuk menghasilkan konten positif. Ia juga mengapresiasi langkah Polri atas penangkapan sindikat yang bekerja menyebarkan konten bermuatan SARA itu. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement