Senin 04 Sep 2017 16:11 WIB

Apakah Rohingya tidak Boleh Hidup di Bumi?

Rep: Singgih Wiryono/ Red: Agus Yulianto
Karimullah (37) warga etnis Rohingya yang mengungsi ke Indonesia pada 2011 lalu hingga saat ini. Karim merupakan salah satu etnis Rohingya yang tinggal di wilayah utara kota Maungdaw, Rakhine, Senin (4/9).
Foto: Republika/Singgih Wiryono
Karimullah (37) warga etnis Rohingya yang mengungsi ke Indonesia pada 2011 lalu hingga saat ini. Karim merupakan salah satu etnis Rohingya yang tinggal di wilayah utara kota Maungdaw, Rakhine, Senin (4/9).

REPUBLIKA.CO.ID, "Satu yang menjadi pertanyaan saya untuk dunia, apakah Rohingya tidak boleh hidup di bumi? Padahal hewan saja bisa hidup tenang di hutan atau di gunung."

Begitu yang diungkapkan salah seorang pengungsi asal Rakhine yang beruntung bisa mengungsi ke Indonesia. Karimullah namanya,  saat ditemui Republika.co.id, di kontrakannya, Senin (4/9), terlihat pria yang akrab disapa Karim ini tidak bisa menahan emosinya terhadap pembantaian etnis Rohingya di Myanmar. Pria tersebut berkali-kali mengucapkan kalimat "Hasbunallah wani''mal wakil" setelah menceritakan derita yang sudah dan sedang ditimpa etnis Rohingya.

Karim bercerita, tentang bagaimana pemerintahan Myanmar melakukan diskriminasi terhadap masyarakat muslim Rohingya. Dia mengatakan, apa yang dilakukan pemerintah Myanmar memang sudah direncanakan untuk menghapus keberadaan muslim di Myanmar dengan kebijakan-kebijakan diskiriminasi.

"Masjid-masjid dibakar, tidak ada studi, tidak ada kerja. Kita dimatikan dengan itu, tidak kasih kerja, tidak kasih ekonomi," kata dia sambil terbata mengucapkan bahasa Indonesia yang terkadang bercampur bahasa Inggris dan dijeda memikirkan padanan kata bahasa kampungnya di Rakhine dengan bahasa Inggris.

Karimullah mengungsi ke Indonesia setelah mendapat bantuan dari PBB atas krisis kemanusiaan pemerintah Myanmar yang terjadi di Rakhine. Karimullah bersama istri dan lima orang anaknya berada di Indonesia sejak 2011 silam.

Karim berkisah, sebelum dirinya mengungsi di Indonesia, dia adalah seorang pedagang pakaian dan juga sedikit tau tentang dunia politik di Myanmar. Lahir dan besar di wilayah utara kota Maungdaw, Karim merasakan diskriminasi yang dilakukan pemerintah Myanmar terhadap umat Islam di Rakhine.

"Saya ingat itu masih kecil, militer itu malam-malam ke rumah-rumah, itu buka lemari, ambil semua, emas, uang," kata dia sambil mencontohkan membuka lemari pakaiannya pada kami.

Kekejaman militer dan pemerintahan Myanmar juga dia rasakan saat dirinya menjadi pedagang. Muslim di Rakhine, kata dia, menjadi sasaran penjarahan yang dilakukan oleh militer Myanmar. Mengambil barang tanpa membayar oleh militer Myanmar adalah hal yang biasa dialami oleh seorang muslim pemilik toko di Myanmar, karena jika tidak terima terhadap perlakuan tersebut, nyawa dan keamanan mereka akan terancam.

Tidak hanya itu, diskriminasi dirasakan Karim saat dirinya masih di bangku sekolah. Batas akses dari desa ke desa yang dilakukan aparat penegak hukum Myanmar menjadi halangan bagi anak-anak yang akan bersekolah, juga menjadi hambatan orang-orang sakit yang akan berobat, dan akses perdagangan di wilayah Rakhine.

"Bapak tau kenapa lebih banyak perempuan dan anak-anak di Rakhine? Kita itu sehabis shalat di masjid, dipukul, kalau tidak, dipenjara, ada yang ditembak. Sebab itu laki-laki jadi banyak keluar," ujar dia.

Pria dengan pupil mata berwarna hijau muda itu terus meluapkan emosinya pada kami. Terlihat dari gurat wajah, dirinya menahan emosi begitu dalam atas perlakuan pemerintahan Myanmar di daerah tempat dia besar dan dilahirkan. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement