Kamis 07 Sep 2017 22:21 WIB

Menjaga Malu

Dakwah
Foto: Dok. Republika
Dakwah

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Dakwah para nabi saat diutus adalah menjaga malu. Sifat ini menjadi tatanan nilai sejak umat manusia  hadir. Bahkan, dalam nilai-nilai jahiliyah pun sifat malu menjadi sifat yang harus dijaga.

Saat Abu Sufyan belum masuk Islam, dia ditanya oleh Heraclius soal ciri-ciri Nabi yang diutus di tengah Kaum Quraisy. Abu Sufyan berkata, "Kalau bukan karena malu apabila mereka mengatakan aku berdusta, tentu aku akan berdusta kepadanya."

Para ulama ketika menafsirkan hadis tentang malu berpendapat ada ancaman bagi orang-orang yang tak melakukannya. Kalimat "Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesuka hatimu" sesungguhnya adalah perintah yang mengancam. Jika urat malu sudah tidak lagi dipakai, silakan berbuat sekehendak hati. Karena, Allah pasti akan membalas perbuatan tersebut.

Selain itu, kalimat tersebut juga bermakna jika seseorang tidak lagi memiliki rasa malu, pasti ia akan berbuat sekehendak hati. Karena yang bisa mencegah seseorang berbuat buruk adalah masih adanya rasa malu yang muncul dalam dirinya.

Siapakah kita yang dinisbatkan Allah sebagai makhluk yang penuh salah dan alpa. Kita begitu mudah tergoda untuk mencoba berbuat maksiat, baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Tak terpikir apa yang ada dalam benak anak yang tega membunuh anaknya, ibu yang membuang sang buah hati, atau pemimpin yang rajin ingkar janji.

Apakah yang bisa membuat mereka berhenti melakukan keburukan? Jawabannya adalah malu. Dosa adalah perbuatan yang jika diketahui orang lain, menjadi waswas hati kita. Rasa waswas itu dipicu perasaan malu. Malu menjadi sensor sekaligus penyeleksi. Mana perbuatan yang baik kita kerjakan, mana yang sebaiknya kita urungkan.

Malu adalah fitrah. Perasaan malu tidak bisa dibohongi karena ia turut tertanam sejak seorang manusia  dilahirkan. Namun, fitrah ini bisa terkikis dengan berulangnya perbuatan maksiat yang terus kita lakukan.

Sensor hati menjadi rapuh. Perbuatan malu tak kuasa menahan gempuran dosa-dosa yang terus terulang. Pada akhirnya seseorang bisa mendapat predikat "tak tahu malu." Sebuah penshahih jika saat itu juga ia sudah berbuat sekehendak hati.

Kaidah yang mengatur perilaku manusia tak akan bisa berusah karena malu sudah tertanam sebagai fitrah. Semua umat Nabi dari awal hingga Nabi Muhammad SAW mendapat keistimewaan tersebut. Lantas risalah secara terus-menerus menyerukan sifat ini hingga berakhirnya dunia sebelum pengadilan Allah turun. Jika merasa malu bukanlah sifat yang patut dimiliki, silakan berbuatlah sesukamu.

Disarikan Dialog Jumat Republika

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement