REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Oleh: Kamran
Marah adalah salah satu sifat buruk yang ada pada diri manusia. Di samping dapat merusak jiwa, marah juga dapat mengganggu kesehatan raga. Sudah banyak penelitian yang menguatkan adanya hubungan kebiasaan marah dengan gangguan jantung.
Seseorang yang sering marah atau marah sudah menjadi gaya hidupnya akan sangat rentan terkena gangguan pada jantung. Oleh karena itu, pantas jika banyak ayat Alquran dan hadis yang menyuruh mengendalikan amarah.
Menurut Alquran, kemampuan mengendalikan amarah (al- Kaazhimiin al-Ghaidh) merupakan salah satu ciri orang bertakwa (QS Ali Imran [3]: 134). Nabi Muhammad SAW beberapa kali dimintai nasihat oleh seorang laki-laki. Beberapa kali juga beliau menjawab, "Janganlah engkau marah" (HR Bukhari).
Kekuatan seseorang, menurut Rasulullah SAW, tidak diukur dari kekuatan fisiknya, tapi lebih karena kemampuannya mengendalikan amarah. Sebagaimana sabdanya, "Orang yang kuat itu bukanlah yang pandai bergulat, melainkan orang yang kuat ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah (HR Bukhari dan Muslim).
Nabi SAW juga tidak hanya menyuruh mengendalikan amarah, tetapi juga memberi motivasi (targhib) bagi orang yang dapat melakukannya. Menurut Rasulullah SAW, jika seseorang mampu mengendalikan amarahnya, maka ia akan terhindar dari siksa Allah SWT dan pada gilirannya akan dimasukkan ke surga-Nya. Hal tersebut dikuatkan oleh hadis, "... Barang siapa yang mampu menahan amarahnya, Allah akan menahan siksa- Nya" (HR ath-Thabrani). "Kendalikanlah marah, maka kamu akan masuk surga" (HR ath-Thabrani).
Mengendalikan marah artinya mengelola potensi marah sehingga berubah menjadi sesuatu yang bermanfaat. Prosesnya mirip dengan imunisasi. Potensi marah ibarat vaksin (virus yang dilemahkan). Ketika vaksin disuntikkan, tubuh tidak menghindar, tapi justru melawan dengan antibodinya sehingga menjadi kebal. Sehingga, ketika suatu saat tubuh terinfeksi oleh virus sejenis, ia tidak akan terpengaruh oleh bahaya virus tersebut karena sudah kebal.
Demikian juga dengan mengendalikan amarah. Potensi marah tidak dihindari, tapi dikelola melalui berpikir positif. Marah tidak dilampiaskan, tetapi ditahan. Upaya ini akan menghasilkan kekebalan jiwa terhadap potensi marah. Sehingga, jika sekali waktu potensi marah sejenis hadir, maka tidak akan membangkitkan marah, bahkan mungkin akan menjadi sesuatu yang menyenangkan. Ini artinya penyakit marah sembuh.
Model mengatasi marah di atas berbeda dengan cara kebanyakan ilmuwan Barat dalam mengatasi keadaan marah. Sigmund Freud, seorang psikoanalisis, mengatakan bahwa kemarahan tidak boleh ditahan, tapi harus disalurkan. Menurutnya, emosi (kemarahan) yang tertahan dapat menyebabkan ledakan emosi berlebihan. Maka dari itu, diperlukan sebuah penyaluran atas emosi yang tertahan (katarsis).
Berdasarkan pengalaman, cara mengatasi marah seperti itu tidak mengobatinya, tapi hanya menurunkannya untuk sementara. Artinya, ketika kemarahan disalurkan, tensinya akan turun, bahkan akan hilang. Namun, jika satu saat sumber kemarahan itu ada lagi, kemarahan pun akan bangkit kembali. Wallahu a'lam.