REPUBLIKA.CO.ID, RAKHINE -- Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) mengumumkan gencatan senjata sementara yang dimulai pada hari Ahad, (10/9). "ARSA sangat mendorong semua lembaga kemanusiaan untuk melanjutkan pemberian bantuan kemanusiaan kepada semua korban krisis kemanusiaan, terlepas dari latar belakang etnis atau agama selama periode gencatan senjata," kata ARSA dalam sebuah pernyataan seperti dilansir Guardian, Ahad, (10/9).
Di beberapa daerah, militan ARSA melakukan operasi tanpa tentangan. Wartawan Tribune Dhaka Adil Sakhawat mengatakan kepada The Observer, ia melihat militan ARSA berpakaian hitam mengendalikan pos perbatasan Myanmar di Kutkhali di Sungai Naf, di perbatasan dengan Bangladesh.
Kebebasan yang diberikan kepada ARSA menimbulkan kekhawatiran kalau Pemerintah Myanmar sebenarnya mendorong para pengungsi untuk melarikan diri menyeberangi perbatasan ke Bangladesh. Ini terlihat dari pasukan Myanmar membiarkan ARSA menyediakan jalan yang aman bagi para pengungsi Rohingya untuk menyeberang ke Bangladesh.
Menurut Sakhawat, yang baru saja kembali dari perbatasan Myanmar, gerilyawan hanya bersenjata tongkat kayu saat mereka menyaksikan arus pengungsi tersebut.
Dari Kutkhali bisa melihat pos perbatasan lain yang dikendalikan oleh pasukan Myanmar. "Mereka (pasukan Myanmar) hanya menonton," kata Sakhawat.
Militer Myanmar telah membiarkan ARSA beroperasi dengan bebas di Kutkhali menyebabkan kecurigaan bahwa mereka membuka setidaknya satu atau dua koridor bagi para pengungsi Rohingya untuk melarikan diri ke Bangladesh dengan selamat. Ini merupakan upaya militer Myanmar untuk menyingkirkan orang Rohingya sebanyak mungkin dari Rakhine utara.
Banyak orang Rohingya takut pada pasukan Myanmar. Namun, kehadiran ARSA ditujukan untuk meyakinkan para pengungsi Rohingya bahwa Kutkhali adalah jalan keluar yang aman dari Myanmar.
Para pengamat menilai, ARSA terlalu lemah untuk secara serius menantang angkatan bersenjata Myanmar. "Banyak anggota ARSA telah melarikan diri. Meskipun ada korban jiwa, mereka bukanlah pasukan yang kuat," kata Matthew Smith dari Fortify Rights, sebuah LSM yang telah mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia di Rakhine.
"Orang Rohingya tahu bahwa kelompok ini tidak memiliki kapasitas untuk mengalahkan atau melawan pasukan keamanan Myanmar," ujar Smith.