REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di Kamboja, pergolakan dan pembantaian massal itu terjadi di bawah rezim Khmer Merah yang dipimpin Pol Pot. Rezim berhaluan komunis ini memerintah Kamboja pada periode 1975-1979, setelah berakhirnya Perang Saudara 1970-1975. Sebelumnya, Kamboja berada di bawah pendudukan Prancis sejak awal abad ke-19.
Hussin Muthalib dalam Islam in Southeast Asia menulis, jumlah Muslim Kamboja pada 1974 sebanyak 550 ribu. Sebagian besar terkonsentrasi di utara Phnom Penh, Provinsi Kompong, dan sepanjang Sungai Mekong. Jumlah itu berkurang drastis pada masa Khmer Merah. Salah satu versi menyebut, 70 persen dari total populasi Muslim dibantai. Sementara, menurut data Minority Rights Group International, sepertiga Muslim tewas di bawah kekuasaan rezim. Tak dimungkiri, kekuasaan Khmer Merah menjadi sejarah kelam umat Islam Kamboja.
Rezim Khmer Merah menghapus undang-undang keberagamaan di Kamboja. Yang menderita tak hanya umat Islam, tapi juga umat beragama lain. Kekejaman meluas. Di bawah rezim Khmer Merah, semua agama dilarang. Tempat-tempat ibadah dan literatur keagamaan hancur.
Khmer Merah melakukan penganiayaan, pembunuhan, pemerkosaan, serta pembakaran Alquran. Seng Kuoy, saksi sejarah dari etnis Khmer, mengisahkan, kaum Cham di desa-desa tetangganya dipaksa untuk meninggalkan agama mereka.
Dilansir dari Anadolu Agency, sebuah studi yang difokuskan pada kekerasan seksual yang dilakukan Khmer Merah di Kamboja pada 1970-an telah menemukan, perempuan dari minoritas Muslim Cham di negara itu sengaja ditargetkan.
"Seorang kader Khmer Merah menginginkannya ketika melihat perempuan itu sangat cantik. Suaminya dibawa untuk dibunuh. Empat orang berhubungan seks dengan dia… Dan dia kemudian dibawa untuk dibunuh," ujar seorang Khmer Muslim mengisahkan pemerkosaan brutal seorang wanita Cham.
Dalam kisah lain, responden mengisahkan bagaimana 10 wanita Khmer (Muslim dan non-Muslim) dipaksa menjadi budak seks untuk kelompok milisi muda. Setelah tiga sampai tujuh hari perkosaan, mereka dibunuh.
"Agama dicerca oleh Khmer Merah. Komunitas Muslim menjadi sasaran karena perbedaan bahasa, makanan, pakaian, dan cara berdoa. Dalam lingkungan xenofobia, kekerasan seksual muncul menjadi metode Khmer Merah untuk menekan kelompok minoritas," demikian laporan sebuah lembaga bantuan hukum lokal, the Cambodian Defenders Project (CDP).
Mereka melakukan wawancara dengan 105 korban dan saksi. Responden melaporkan, pelecehan seksual dan pemerkosaan perempuan Cham menjadi hal yang lumrah. Korban Cham dibungkam dengan ancaman atau diperkosa sebelum dieksekusi.
Sebuah buku karangan akademisi Muslim Cham, Farina So, berjudul The Hijab of Cambodia: Memories of Cham Muslim Women After the Khmer Rouge juga memerinci kasus perempuan Cham yang dipaksa menikah dengan pria Khmer untuk memecah belah kelompok etnis. "Saya dipaksa untuk membuat komitmen (menikah). Saya masih sangat kecil. Saya baru berusia 10 tahun lebih. Bagaimana aku bisa protes?" ungkap salah satu korban.