REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA --- Masalah perumahan rakyat merupakan salah satu masalah perkotaan yang pelik. Intervensi dari pemerintah amat dibutuhkan untuk membantu masyarat berkebutuhan rendah (MBR).
"Persoalan perumahan adalah persoalan perkotaan. Karena ini masalah ideologis, kita hampir buta bagaimana membangun perumahan sosial," ujar Marco Kusumawijaya dari Tim Sinkronisasi Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta Terpilih di Jakarta pada Ahad (17/9).
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi Suraopati Syndicaye dengan tema 'Defisit Hunian dan Gurita Bisnis Properti di Jakarta'. Diskusi berlangsung di Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat.
Marco mendesak spekulasi harga tanah harus dikendalikan. Kalaupun ada peran swasta, peran harus dikendalikan sesuai dengan yang kehendak pemerintah yang berpihak pada masyarakat.
Sementara itu, Direktur Rumah Umum dan Komersial Kemen PUPR Dadang Rukmana menekankan bahwa defisit perumahan rakyat merupakan mitos. "Yang saya sebut mitos adalah angka fantastis 11,5 juta. Saya tanya adakah data itu by name by adress. Kita punya masalah data," ujarnya.
Menurut Dadang, harus ada data akurat mengenai hunian, agar mempermudah perancangan kebijakan terkait penyediaan hunian. Tanpa data akurat, kebijakan apa pun tak akan tepat sasaran.
Dadang juga mengaku bahwa dirinya sedang merancang aturan untuk mendudukkan tugas Perum Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas).
Ia menegaskan, jangan sampai Perumnas berbisnis. Negara membutuhkan operator dalam menyediakan hunian yang terjangkau.
Konsep landbacking yang selama ini justru dilakukan pengembang swasta, menurut Dadang merupakan kesalahan besar. Karena tugas tersebut seharusnya dilakukan oleh negara. Yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Raldi Hendro Koestoer, selaku staf ahli di UN-HABITAT Indonesia mendesak agar pemerintah memegang kendali atas konsep pembangunan perumahan untuk rakyat. Ia juga mengecam seringnya konsep asing yang dibawa ke dalam negeri, tetapi kemudian tidak sesuai untuk diterapkan.
"Setiap pembangunan atau kebijakan itu harus memperhatikan 3 hal, yaitu sosial, ekonomi, lingkungan. Agar dia sustaine," ujarnya.
Dari data yang dipaparkan oleh Suropati Syndicate, bahwa hanya 51% warga DKI yang telah memiliki rumah sendiri. Sementara 34% warga Jakarta lainnya adalah penghuni rumah kontrakan. Sisanya sekitar 13% warga Jakarta tinggal dengan berstatus bebas sewa dan 2% lainnya tinggal di rumah dinas.
Kepadatan kota nyatanya telah membuat warga Jakarta kesulitan untuk memiliki rumah. Pasalnya, seiring dengan modal areal lahan yang semakin sempit serta urbanisasi yang kian meningkat menjadikan defisit hunian sebagai suatu konsekuensi yang logis di Jakarta.
Dengan demikian, defisit hunian dimanfaatkan sebagai komoditas oleh para pengembang swasta. Puncaknya, bisnis properti akhirnya menggurita di Jakarta. Kemampuan masyarakat terhadap aksesibilitas kepemilikan rumah pun semakin terbatas.
Dalam perkembangan berikutnya, munculah kota-kota satelit baru di daerah pinggiran-pinggiran Jakarta sebagai solusi baru menekan angka defisit hunian. Perumpamaan yang paling nyata semisal Kota Meikarta yang kini sedang dibangun di Cikarang, Bekasi.