REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah tidak memiliki regulasi nasional yang mewajibkan rumah sakit swasta bermitra dengan BPJS Kesehatan. Kendati begitu, Direktur Kepatuhan Hukum dan Hubungan Antarlembaga BPJS Kesehatan Bayu Wahyudi mengatakan, pemerintah daerah sebenarnya bisa mewajibkan rumah sakit swasta untuk bekerja sama dengan BPJS.
"Pemda bisa mewajibkan karena ada yang namanya Undang Undang Otonomi Daerah. Bisa dibuat regulasi kalau ini dianggap program srategis nasional," ujarnya, usai menghadiri rapat koordinasi bersama Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Senin (25/9).
Bayu menuturkan, saat ini regulasi yang ada di tingkat nasional memang baru mewajibkan rumah sakit milik pemerintah saja untuk bermitra dengan BPJS Kesehatan. Kendati begitu, menurut dia, jumlah rumah sakit swasta yang bergabung dengan BPJS justru paling banyak, yakni 57,8 persen.
Sementara, jumlah rumah sakit milik pemerintah hanya 33 persen. Sisanya adalah rumah sakit vertikal sebanyak 5,7 persen seperti rumah sakit milik BUMN serta rumah sakit milik institusi TNI dan Polri.
Isu mengenai kemitraan rumah sakit dengan BPJS Kesehatan ini mencuat kembali pasca kasus yang menimpa bayi perempuan bernama Tiara Debora Simanjorang. Rumah Sakit Mitra Keluarga menolak memberikan pelayanan kesehatan sebelum orang tua Debora membayarkan uang muka sebanyak Rp 19,8 juta.
Rumah sakit berdalih mereka tidak bekerja sama dengan pemerintah dalam menangani pasien pemegang kartu BPJS. Malang, belum sempat uang muka terkumpul, bayi Debora sudah meregang nyawa tanpa sempat dirawat di ruang PICU.
Merespons peristiwa tersebut, Gubernur DKI Jakarta Djarot Saeful Hidayat menyatakan akan mewajibkan seluruh rumah sakit bermitra dengan BPJS. Kemitraan ini akan dijadikan sebagai salah satu persyaratan dalam pengurusan perpanjangan izin operasional rumah sakit.