REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembebasan Paris 24 Agustus 1944 adalah cerita yang paling banyak ditulis dalam sejarah Prancis modern. Tapi, pembebasan ini sering kali dipandang hanya sebagai kemenangan kulit putih. Padahal, ada dua pertiga tentara kolonial dari Afrika di tengah pasukan Prancis.
Mike Thomson dalam "Paris Liberation Made 'Whites Only'" di BBC, mengkaji ada kesan peran tentara kulit hitam itu dihilangkan. Hal serupa dijelaskan Olivier Wieviorka dalam Histoire du débarquement en Normandie: des origines à la libération de Paris (1941-1944).
Ia mengungkapkan, bila komandan Amerika dan Inggris memutuskan hanya pasukan kulit putih yang akan ambil bagian dalam operasi pembebasan Prancis. Motif ini, kata Wieviorka, lebih bersifat politis daripada rasial. Pembebasan Paris adalah peristiwa yang akan menarik publisitas besar dari rakyat Prancis dan internasional.
Ada 550 ribu tentara Afrika-Prancis pada 1944. Banyak di antara mereka direkrut, baik terpaksa maupun sukarela, dari koloni-koloni Prancis. Dari jumlah itu, sebanyak 134 ribu dari Aljazair, 73 ribu dari Maroko, 26 ribu asal Tunisia, dan 92 dari koloni lain di Afrika. Tentara multiras itu pertama kali diterjunkan dalam pertempuran di Italia pada 1943 untuk mengusir Jerman dari Monte Cassino.
Christian Koller dalam "Colonial Military Participation in Europe (Africa)", 1914-1918-online. International Encyclopedia of the First World War mengatakan, Prancis adalah negara yang paling banyak memanfaatkan tentara Afrika di kancah perang Eropa. Tentara Afrika Utara telah bertugas di Perang Krimea (1854-1856), Perang Italia 1859, dan Perang Prancis-Jerman 1870-1971. Hampir 1,5 juta tentara Afrika dikirim ke berbagai perang di Eropa. Tidak ada angka pasti mengenai jumlah korban pasukan Afrika-Prancis.
Lain dengan Prancis, Inggris tidak banyak menggunakan pasukan Afrika di Eropa. Prasangka rasis ditambah oposisi dari rakyat koloni di Afrika membuat Inggris enggan menggunakan pasukan Afrika. Mereka lebih memilih tentara India. Italia, di sisi lain, mencoba menggunakan pasukan kolonial di Eropa, tapi justru berakibat bencana. Agustus 1915, sekitar 2700 tentara dari Libya dikirim ke Sisilia. Mereka tidak pernah sampai ke garis depan karena banyak yang meninggal terkena pneumonia.
Belgia beberapa kali membahas pengiriman beberapa ribu tentara Kongo, tapi tidak terwujud. Hanya sejumlah kecil tentara Kongo yang bertugas di antara pasukan Belgia. Sementara, Portugis memilih tidak memanfaatkan tentara dari tanah koloni.
Mayoritas tentara Muslim bertempur di pihak Sekutu, tapi ada juga yang memihak Soviet. Di Asia Tengah dan wilayah Kaukasus Utara, banyak Muslim menyokong perjuangan Soviet. Hal itu dibahas oleh Thomas S Szayna dalam RAND Publication Series: The Ethnic Factor in the Soviet Armed Forces The Muslim Dimension. Dukungan ini lebih disebabkan kedekatan geografis atau kekuasaan Soviet atas negara yang bersangkutan.
Terkait pemihakan pada Nazi, hal ini kebanyakan didorong oleh sentimen antikolonial. Hampir semua negara Muslim jatuh ke tangan Inggris, Prancis, dan Italia. Bruno De Cordier dalam "The Fedayeen of the Reich: Muslims, Islam and Collaborationism During World War II," Journal of China and Eurasia Forum Quarterly (2010), menulis tak kurang dari 372 ribu-445 ribu tentara Muslim bergabung sebagai tentara Hitler pada 1941-1945.
Mereka kebanyakan berasal dari Soviet, Eurasia, dan Balkan. Sosok paling dikenal akan dukungan dengan Hitler adalah mantan mufti Yerusalem, Amin al-Husseini, yang ikut andil dalam pembentukan divisi Muslim Bosnia SS Handschar.