REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengajar pada Badan Diklat Kejaksaan RI, Adnan Paslyadja dihadirkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai ahli hukum acara pidana dalam sidang praperadilan Setya Novanto di Pengadian Negeri Jakarta Selatan, Rabu (27/9). Adnan mengatakan seseorang bisa ditetapkan sebagai tersangka jika sudah ada dua alat bukti permulaan.
Hal ini berdasarkan putusan perkara nomor 21/PUU-XII/2014 Mahkamah Konstitusi bahwa tiap orang bisa ditetapkan bila ada dua alat bukti permulaan tersebut. "Dua alat bukti permulaan sudah bisa, itu sudah dimaknai oleh MK, di mana ada dua alat bukti permulaan, maka tiap orang bisa jadi tersangka," kata dia di PN Jaksel, Rabu (27/9).
Waktu penetapan tersangka pun, kata Adnan, tidak harus di akhir penyidikan. Di awal penyidikan, menurut dia, seseorang bisa ditetapkan sebagai tersangka. KUHAP pun, di matanya, tidak mengenal pemisahan antara tahapan penyelidikan dan penyidikan. Karena itu, menurut Adnan, seseorang bisa ditetapkan sebagai tersangka setelah penyelidikan dilakukan.
"KUHAP tidak mengenal pemisahan tahapan penyelidikan dan penyidikan. Jadi bisa sesuatu dilakukan penyelidikan, baru ada tersangka. Tapi bisa juga di penyelidikan menurut pasal 1 angka 14 KUHAP, bisa ditetapkan jadi tersangka," tutur dia.
Pendapat Adnan itu berbeda dengan ahli hukum acara pidana yang dihadirkan oleh pihak kuasa hukum Setya Novanto, Chairul Huda, Selasa (26/9) kemarin. Pengajar Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana di Universitas Muhammadiyah Jakarta, berpendapat penetapan tersangka harus di akhir penyidikan.
Proses penyidikan, menurut Huda, adalah untuk menemukan tersangka dalam suatu tindak pidana setelah ditemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana pada proses penyelidikan. Penetapan tersangka ini, lanjut dia, atas dasar hasil penyidikan untuk membuat terang, mengumpulkan dan mencari alat bukti guna membuat terang tindak pidana korupsi yang terjadi dan menemukan tersangkanya.
"Pengumpulan alat bukti itu lebih dulu, barulah penetapan tersangkanya. Setelah alat-alat bukti itu, diperiksa dulu calon tersangkanya, barulah kemdian penetapan tersangkanya. Ini bicara prosedur. Ini bagian dari perlidungan HAM, dan harus dilaksanakan," kata dia.