REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Indonesia Corruption Watch Lalola Easter menuturkan salah satu pertimbangan Hakim Cepi Iskandar yang paling kontroversial dalam putusan praperadilan Setya Novanto (Setnov) adalah menyatakan alat bukti untuk tersangka sebelumnya tidak bisa dipakai lagi untuk menetapkan tersangka lain.
"Dengan dalil tersebut, artinya Hakim Cepi Iskandar mendelegitimasi putusan Majelis Hakim yang memutus perkara KTP-El dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, yang notabenenya sudah berkekuatan hukum tetap," kata dia dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Sabtu (30/9).
Padahal, menurut Lalola, putusan dikeluarkan berdasarkan minimal dua alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim. "Skema tersebut merupakan hal yang biasa dalam proses beracara di persidangan," kata dia.
ICW juga telah menyebutkan ada enam kejanggalan dalam proses persidangan praperadilan Setnov di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Pertama, karena hakim menolak memutar rekaman bukti keterlibatan Setnov dalam korupsi KTP-El. Kedua, hakim menunda mendengar keterangan ahli dari KPK. Ketiga, hakim menolak eksepsi KPK.
Keempat, hakim mengabaikan permohonan intervensi dengan alasan gugatan tersebut belum terdaftar di dalam sistem informasi pencatatan perkara.
Kelima, hakim bertanya kepada ahli KPK tentang sifat adhoc lembaga KPK yang tidak ada kaitannya dengan pokok perkara praperadilan. Keenam, laporan kinerja KPK yang berasal dari Pansus dijadikan bukti praperadilan.