REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Popok, suatu benda yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia terutama para ibu-ibu yang memiliki batita maupun balita. Benda yang mudah didapatkan ini ternyata tidak hanya membantu para ibu mengurus anaknya, tapi juga menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan.
Di Malang, sampah atau limbah popok sangat mudah ditemukan di beberapa tempat, seperti sungai dan titik pembuangan lainnya. Tidak saja merusak pemandangan, sampah popok ternyata sulit untuk dilebur. Sekalipun dibakar, sisa dari sampah popok masih akan ditemukan.
Melihat situasi itu, Pengrajin Keterampilan Tangan sekaligus Kader Lingkungan di Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, Yunita Lestari Ningsih terusik untuk memperbaiki. Ditambah lagi, terdapat kegiatan lomba kampung bersinar yang membuatnya harus memberikan insiatif dalam memberikan keunggulan pada aspek ini. "Kita lihat banyak sampah popok di sawah dan sungai yang menumpuk. Mengelola dibakar tidak bisa dan kalau ditimbun urainya lama. Dari situ, jadilah kita ingin membuat popok menjadi kerajinan tangan," kata perempuan berhijab ini saat ditemui wartawan di Jalan Ikan Tombro, Lowokwaru, Kota Malang, Selasa (3/10).
Kegiatan pengumpulan popok bekas dimulai sejak 2011 yang awalnya dilakukan dengan sosialisasi pada masyarakat. Masyarakat diminta agar tidak membuang popok melainkan dicuci bersih. Kemudian dikumpulkan melalui bank popok yang tabungannya bisa diambil saat menjelang lebaran.
Selang beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 2015, dia bersama sejumlah ibu-ibu yang tergabung dalam Usaha Kecil Menengah (UKM) Cantuka Kreatif mulai menjadikan popok tersebut sebagai kerajinan tangah. Sudah ada beberapa jenis kerajinan yang diciptakan kelompok ibu-ibu ini dengan merek "Percaku". Adapun produk yang pernah dan masih diproduksi sampai sekarang seperti tas, bangku, bunga, vas bunga, bros, bantal, cinderamata dan sebagainya.
"Kalau yang masih berlangsung sampai sekarang itu kerajinan bunga, vas bunga dan suvenir," ujar perempuan berhijab ini.
Pada 2015, dia telah membuat berbagai bentuk tas dari popok dengan jumlah 66 buah. Namun sayangnya, produksi tas ini tidak dilanjutkan mengingat biaya produksinya cukup mahal. Ditambah lagi, keuntungan dan persaingan pasar yang kurang sesuai harapan.
Sementara berhentinya produk bros sendiri sebenarnya bermula dari keluhan pembeli. Menurut Yunita, banyak warga yang meragukan hukumnya dalam Islam apabila digunakan dalam keadaan sembahyang. "Kan itu popok, banyak tanya bagaimana hukumnya kalau dipakai saat shalat. Nah, daripada ragu, ya tidak lanjutkan meski kita sudah diperiksa dinas kesehatan tidak ada bakteri di dalamnya," katanya.
Untuk pembersihannya sendiri, Yunita menjelaskan, telah mengajarkan caranya pada para ibu-ibu. Popok biasanya direndam air deterjen sampai gelnya menyerap lalu dikeluarkan. Saat membersihkan gel, upayakan menggunakan air mengalir sesuai rukun pencucian. Kemudian dibilas dan direndam dengan pemutih sekitar satu menit. Bahkan, banyak warga yang menambahkan pewangi pada popok tersebut.
Dalam sekali waktu, satu ibu bisa membawa dua kantung popok. Jika rutin, dalam setahun para penyumbang popok itu dapat mengumpulkan tabungan sebesar Rp 450 sampai 750 ribu. Hal ini jelas bukti kegiatan ini tidak hanya menghindari limbah popok tapi membawa keuntungan bagi para ibu.
Sementara pembuatan kerajinannya, Yunita menambahkan, dibantu oleh sepuluh perempuan yang tergabung dalam UKM. Mereka memiliki tugas masing-masing seperti menggunting popok, menyetrika maupun mempercantiknya. Para perempuan hebat ini biasanya mampu menghabiskan minimal 150 produk selama sepekan.
"Dan kisaran harga produk kami sendiri dari Rp 5 ribu sampai 150 ribu," ujarnya.