REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Koperasi dan UKM bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendukung usaha mikro dan kecil cukup didaftarkan secara online sebelum memulai usaha. Namun kementerian ini belum mengetahui apakah ada pengenaan pajak bagi usaha mikro yang telah mendaftarkan diri.
Hal itu diungkapkan Sekretaris Kemenkop dan UKM Agus Muharram dalam acara Rakornas Kadin di hotel Ritz Carlton, Jakarta, Selasa (3/10) berdasarkan rilis yang diterima republika.co.id. Rakornas kali ini mengangkat tema "Mendorong Digitalisasi UMKM, Industri Kreatif dan Start Up untuk Menciptakan Ekonomi Berkeadilan dalam Menghadapi Persaingan Global".
"Apakah mikro kecil didaftarkan saja usahanya ini perlu pemikiran, karena saya belum tanya secara detail ke Ditjen Pajak kalau didaftar itu kena pajak nggak," ungkap Agus.
Agus menyitir arahan dari Presiden Jokowi dengan maksud untuk memberikan kemudahan berusaha bagi pelaku UKM tanah air. Sebab menurutnya, masalah perizinan usaha masih menjadi salah satu hal yang menghambat masuknya investasi. "Pak Jokowi ingin usaha mikro-kecil itu tidak perlu izin, didaftarkan saja. Nanti secara online di tempat tertentu di daftar. Saking pak Jokowi konsen ke sana," kata Agus.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Kadin bidang UMKM dan Koperasi M Lutfi mengatakan anggota Kadin yang sebagian besar merupakan kelompok usaha mikro dan kecil ini harus membuka diri berkolaborasi dengan berbagai stakeholders guna evolusi usaha. Namun tetap berlandaskan pada azas kekeluargaan.
"Bahwa Kadin akan menjadi persatuan bagi pencipta nilai tambah baru. Dan Kadin juga ingin berkontribusi maka kami membayar pajak. Oleh sebab itu, Kadin ada untuk Indonesia," tandas M Lutfi.
Rudy Salahuddin selaku Deputi bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan dan Daya Saing Koperasi dan UKM, Kemenko Perekonomian menjelaskan tujuan pemerintah menerbitkan Izin Usaha Mikro Kecil (IUMK) supaya memudahkan pembinaan. Pemerintah ingin ada database yang jelas berapa jumlah UKM yang akan dibina.
"Yang diperlukan pemerintah bagaimana mendata. Tidak perlu tahu asal data itu dari mana, karena itu kita minta bantuan dari pelaku usaha untuk bagaimana kita bangun data dan bina pelaku UKM dari data yang kita miliki," jelas Rudy.
Pemerintah menargetkan tercapai 500 ribu UKM, namun sejak tahun 2015 hingga saat ini target tersebut belum tercapai. Rudy mengaku salah satu hambatannya adalah dengan diterbitkannya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang membagi wewenang pembinaan usaha mikro pada Pemda Tingkat II dan Tingkat I untuk usaha kecil.
"Ini yang hambat kita melakukan pendataan. Contohnya data yang saat ini 50 juta di BPS itu data prediksi, sehinga kita tidak tahu mau membina UKM dan UKM naik kelas yang mana. Ini yang jadi perhatian pemerintah," ungkap dia.