Sabtu 14 Oct 2017 20:07 WIB

Ironi Negeri Kaya Minyak tapi BBM Mahal dan Langka

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Elba Damhuri
 Pasukan Sudan mengamati pipa minyak yang terbakar akibat serangan bom di kota Heglig, Sudan, Kamis (24/4) lalu.
Foto: Abd Raouf/AP
Pasukan Sudan mengamati pipa minyak yang terbakar akibat serangan bom di kota Heglig, Sudan, Kamis (24/4) lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JUBA - Samson Kamunya sudah menunggu selama empat hari di sebuah pompa bensin di ibu kota Sudan Selatan, Juba. Di antara ratusan mobil, truk, dan penduduk sipil yang putus asa sambil membawa jerigen kosong, dia mengatakan situasi krisis bahan bakar minyak (BBM) semakin mengkhawatirkan.

"Pada September tidak ada bahan bakar di manapun," kata Kamuya, yang mengaku telah delapan tahun berprofesi sebagai pengemudi.

Kamuya mengatakan, dia terpaksa membeli bahan bakar di pasar gelap hampir 10 kali lipat dari harga biasa. Alih-alih membayar Rp 84.500 untuk 60 liter BBM di pom bensin, dia harus membayar Rp 1.092.000 hanya untuk 20 liter BBM di pasar gelap.

Tentara pemerintah juga diduga telah mengancam warga sipil di pom bensin agar tak membeli dalam jumlah besar. Mereka juga mengurangi pasokan bahan bakar untuk dijual sendiri secara ilegal.

"Jika seseorang memberitahu Anda sambil menodongkan pistol, pasti tidak dapat Anda bantah," kata Simon Kinuthia, seorang sopir di Juba.

Krisis ini adalah ironi yang kejam di Sudan Selatan, sebagai negara termuda di dunia. Sekitar 98 persen perkonomian Sudan Selatan berasal dari minyak, namun negara ini menghadapi salah satu krisis bahan bakar terburuk sejak perang saudara dimulai pada 2013.

Sudan Selatan memiliki cadangan minyak terbesar ketiga di Afrika, sebanyak 3,5 miliar barel. Berdasarkan data pemerintah, produksi minyak saat ini seharusnya dapat menghasilkan ratusan juta dolar dalam setahun.

Akan tetapi, tanpa kilang, negara itu hanya bisa mengekspor minyak mentah dan kemudian harus mengimpor bahan bakar jadi. Beberapa pengamat menyalahkan pemerintah dan Nile Petroleum, satu-satunya perusahaan minyak milik negara, atas krisis bahan bakar nasional di Sudan Selatan.

Situasi semakin memburuk ketika pemerintah mulai memonopoli perdagangan BBM dengan menendang perusahaan minyak swasta. Menurut Direktur Eksekutif Community Empowerment for Progress Organization, Edmund Yakani, hal itu dilakukan untuk mengendalikan akses terhadap dolar AS.

Sementara Nile Petroleum mengaku mereka hanya mampu memenuhi permintaan kebutuhan BBM untuk sepertiga penduduk Sudan Selatan. Mereka membantah telah mengusir perusahaan swasta, dan justru mengatakan krisis ekonomi yang telah memaksa perusahaan swasta itu untuk pergi.

"NilePet bertanggung jawab atas pasokan ke seluruh negara," kata Yiey Puoch Lur, Direktur Public Relations Community Empowerment for Progress Organization.

Beberapa pihak menuduh korupsi yang dilakukan pemerintah telah memperburuk krisis di seluruh negara. Sudan Selatan saat ini akan memasuki tahun kelima pertempuran sipil, di tengah ancaman kelaparan, pengungsian, dan tuduhan kejahatan perang.

"Alih-alih menggunakan pendapatan minyak untuk menyediakan layanan publik dan memperbaiki kehidupan masyarakat Sudan Selatan, pihak yang berkuasa justru menggunakan dana ini untuk membeli senjata, membiayai perang saudara yang mengerikan dan memperkaya diri mereka sendiri," kata JR Mailey, direktur tim investigasi di The Sentry, sebuah kelompok yang berbasis di Washington, yang mengamati adanya hubungan antara korupsi dan kekejaman massal.

"Uang itu disimpan di luar negeri," ujar seorang anggota Parlemen Sudan Selatan, yang berbicara secara anonim. Menurutnya, uang yang diterima pemerintah dalam ekspor minyak, seharusnya cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh negara.

Nile Petroleum kembali membantah melakukan kesalahan. Mereka mengatakan, kekurangan dana disebabkan oleh pengurangan produksi minyak di Sudan Selatan dari hampir 300 ribu barel per hari sebelum perang sipil menjadi sekitar 130 ribu barel per hari.

Saat Sudan Selatan mengadakan konferensi pers pertama mengenai minyak dan listrik, pada Rabu (11/10), Menteri Perminyakan Yehezkiel Lol Gatkuoth mengatakan pemerintah telah bergerak secara agresif untuk menghasilkan lebih banyak minyak. Target produksi ditingkatkan menjadi 280 ribu barel per hari di tahun yang akan datang.

Gatkuoth mengatakan empat kilang akan dibangun di negara tersebut. Salah satu kilang saat ini sedang dibangun di Bentiu. Gatkuoth juga mengatakan, Sudan Selatan sangat menyambut investor asing, yang akan bekerja sama dengan NilePet.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement