REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Besok Senin (16/10) pasangan gubernur dan wakil gubernur terpilih Anies Baswedan-Sandiaga Uno akan dilantik menjadi gubernur DKI Jakarta. Salah satu tugas Anies-Sandi adalah menyatukan masyarakat Ibu Kota yang terpecah karena Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu.
Anggota DPRD DKI Jakarta, Syarif, mengingatkan gubernur dan wakil gubernur periode 2017-2022 harus menyatukan masyarakat Jakarta. "Masyarakat perlu dicerahkan, pilkada adalah politik," katanya dalam diskusi bertema “Pemimpin Baru Jakarta” di Jakarta, Sabtu (14/10).
Menurut Syarif, Anies-Sandi harus mengesampingkan politik kepentingan di awal kepemimpinannya. Keduanya harus mengutamakan ihwal membangun Ibu Kota. ''Pertama, letakkan harapan masyarakat,'' ujar dia.
Syaiful beranggapan, membangun DKI Jakarta bisa dimulai dengan melihat pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat. Artinya, Anies-Sandi dapat mengambil dan melanjutkan model yang baik dan memperbaiki sisi kepemimpinan yang kurang.
Syarif mencontohkan Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang tidak bisa mencakup anak usia sekolah tak sekolah. Gubernur baru dapat memberbaiki peruntukan KJP tersebut. "Perlu kecepatan tetapi tetap harus tunduk aturan," ujar dia.
Analis komunikasi politik UIN Jakarta Gun Gun Heryanto mengingatkan, masih ada agresivitas verbal di kalangan masyarakat menjelang pelantikan Anies-Sandi. Ada kecenderungannya membentuk polarisasi.
Gun Gun menyarankan gubernur DKI Jakarta terpilih harus menjalin komunikasi politik dengan elite. Pada saat bersamaan, Anies-Sandi harus menyiapkan apresiasi apabila elite bersedia menurunkan tensi.
Gun Gun mengingatkan, 100 hari pertama penting dalam masa kepemimpinan Anies-Sandi untuk membangun kepercayaan publik. Menurut dia, Anies-Sandi harus menunjukkan program jangka pendek pada 100 hari pertama. "Penting, meskipun prematur katakan indikator suksesnya," ujar dia.
Gun Gun menyebut Anies-Sandi dapat melakukan sejumlah hal dalam 100 hari pertama. Pertama, keduanya perlu menegaskan relasi kuasa antara gubernur dan wakil gubernur ihwal ranah kerja. Menurut dia, ketika bicara mengenai kekuasaan antarpemimpin, apabila tidak klop dapat berujung petaka.
Kedua, kohesivitas politik antara pendukung Anies-Sandi dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat. Gun Gun mengingatkan, Ahok-Djarot memiliki pemilih loyal sebanyak 2,3 juta dari 7,2 juta penduduk DKI Jakarta. Angka tersebut riil pemilih yang tak memiliki ekspektasi terhadap Anies-Sandi saat Pilkada DKI Jakarta. "Satukan polarisasi saat pilkada," tutur Gun Gun.
Ia beranggapan, kendati pilkada berlalu, pertarungan kekurangan terpola masih terjadi. Menurut dia, Anies-Sandi dapat menganggap itu sebagai tantangan dan berkah. Namun, ia mengingatkan, Anies-Sandi tak boleh diam atau tak menunjukkan apa pun kepada pendukung Ahok-Djarot. "Tunjukkan pemerintahan DKI sekarang lebih cepat kerjanya dari Ahok," tambahnya.
Ahli tata kota Yayat Supriyatna mempertanyakan model kerja pemimpin baru DKI Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno. "Gubernur baru mau main cepat atau aman?" katanya di tempat yang sama.
Yayat mengatakan, apabila Anies-Sandi ingin main aman, cukup mengikuti panduan dokumen teknokratis. Menurut dia, dokumen itu disusun berdasarkan acuan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD).
Artinya, apabila Anies-Sandi main aman atau normatif, segalanya dapat mengacu pada rencana kerja pembangunan daerah (RKPD). Oleh karena itu, ia mengatakan, permasalahan Anies-Sandi memimpin DKI Jakarta berbeda dengan kepemimpinan Ahok-Djarot.
Yayat mengatakan, Ahok memimpin dengan mengacu pada ABPD dan dana nonbujeter (dana di luar ruangan). Ia beranggapan, Ahok memahami bahwa permasalahan kebutuhan DKI Jakarta tak bisa diatasi APBD.
Yayat mempertanyakan, sejauh mana Anies-Sandi akan menggunakan peraturan membangun DKI Jakarta. Sebab, Ahok-Djarot selama ini menggunakan model inovatif. Ia mencontohkan, Pemprov DKI Jakarta mengalokasikan anggaran Rp 420 miliar untuk membangun Simpang Susun Semanggi. Namun, menurut dia, pembangunan hanya menelan anggaran sekitar Rp 200 miliar.
Pemprov DKI Jakarta menggunakan sisa anggaran itu membangun jalur pedestrian di sejumlah titik. "Kalau Ahok kan tak terima uang, tetapi terima produk, bisa bus (armada Transjakarta), ruang terbuka hijau. Itu tak ada di RKPD," tutur Yayat.
Yayat mengingatkan, semua orang sepakat kecepatan adalah keinginan orang Jakarta. Oleh karena itu, ia mempertanyakan terobosan yang akan dilakukan Anies-Sandi. "Apakah gubernur yang akan datang mengacu ke pendekatan normatif atau inovatif, DPRD yang akan bantu," ujar dia.
Sejarawan JJ Rizal juga memperkirakan model kepemimpinan Anies-Sandi normatif atau bermain aman. ''(Dari pidato-pidato Anies) saya tak salah tangkap, berasa normatif,” katanya
JJ Rizal mengibaratkan pergantian kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta seperti musim panas di India, yaitu panas sebentar disusul dingin mendadak. “Semua sangat normatif,” ujar dia.
Padahal, menurut dia, banyak peristiwa “panas’ terjadi di DKI Jakarta. Ia mengatakan, berdasarkan pengamatan 14 tahun terakhir, orang nomor satu di DKI Jakarta tak bisa memimpin secara normatif. “Jakarta perlu petarung kreatif, inovatif,” ujar dia.
JJ Rizal mengatakan, banyak hal bisa dilakukan Anies-Sandi pada 100 hari pertama kepemimpinannya. Tujuannya untuk menguatkan kesan pasangan gubernur DKI Jakarta terpilih dapat memegang kuat janji untuk rakyat.
Menurut dia, salah satu hal yang bisa dilakukan yakni menggelar public hearing atau mendengar keluhan dan masukan publik. Ia mengingatkan, publik memiliki cita-cita saat memberikan suaranya kepada Anies-Sandi di bilik pencoblosan. “Reklamasi, DP nol rupiah, diskresi, banyak yang bisa dilakukan,” tutur dia.
JJ Rizal juga mengingatkan, sejarah punya roda berputar. Oleh karena itu, Anies-Sandi tak boleh menjadi pemimpin jalan di tempat. (Tulisan ini diolah oleh Firkah Fansuri).