REPUBLIKA.CO.ID, MOGADISHU -- Serangan bom besar-besaran di Mogadishu, Somalia, Sabtu (14/10) telah menewaskan 231 orang.
Polisi setempat mengatakan ratusan lainnya terluka ketika sebuah truk berisi bahan peledak diledakkan di dekat pintu masuk Hotel Safari. Serangan ini merupakan teror paling mematikan di Somalia sejak kelompok Al-Shaahab meluncurkan pemberontakannya di 2007.
Presiden Somalia Mohamed Abdullahi Mohamed menyalahkan serangan tersebut kepada kelompok Al-Shaahab, menyebutnya sebagai tindakan yang keji. "Saudara-saudara, tindakan kejam ini ditargetkan kepada warga sipil yang menjalankan bisnis mereka," katanya seperti yang dilansir dari BBC News, Senin (16/10).
Namun, sampai saat ini belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab terhadap serangan tersebut. Presiden Somalia juga menyatakan tiga hari berkabung untuk korban ledakan tersebut.
Baca: Bom Mogadishu, Somalia Umumkan Tiga Hari Masa Berkabung
Media setempat melaporkan keluarga korban berkumpul di lokasi ledakan pada Ahad pagi (15/10). Mereka mencari kerabatnya yang hilang di tengah reruntuhan tempat yang diguncang salah satu bom terbesar di kota itu.
Pejabat polisi Ibrahim Mohamed mengatakan jumlah korban tewas kemungkinan akan terus meningkat. "Ada lebih dari 300 orang terluka, dan beberapa diantaranya mengalami luka yang serius," katanya.
Wali Kota Mogadishu Thabit Abdi meminta semua warga bersatu, ketika kerumunan warga telah berkumpul untuk melakukan demonstrasi. "Warga Mogadishu, Mogadishu seharusnya tidak menjadi kuburan. Mogadishu adalah tempat yang dihormati, dan jika kita tetap bersatu seperti sekarang, bergerak ke depan, kita pasti akan mengalahkan musuh, Insya Allah," ujarnya.
Direktur Rumah Sakit Madina Mohamed Yusuf Hassan mengatakan ia terkejut dengan tingkat serangan tersebut. Sebanyak 72 orang dirawat di rumah sakit dan 25 diantaranya berada dalam kondisi yang sangat serius. Korban lainnya kehilangan tangan dan kakinya di tempat kejadian.
"Apa yang terjadi kemarin luar biasa, saya belum pernah melihat hal seperti itu sebelumnya, dan banyak orang kehilangan nyawa mereka. Mayat yang terbakar tidak bisa dikenali lagi," ujarnya.