REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Upaya pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) Polri dinilai akan terhambat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 tahun 2017 tentang Pengawasan dan Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah juncto Inpres Nomor 3 dan 1 tahun 2016 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional.
Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menuturkan, Inpres tersebut memerintahkan Jaksa Agung dan Kapolri untuk lebih mendahulukan proses administrasi terhadap proyek-proyek yang disinyalir merugikan negara. Caranya, bukan lewat penuntutan pidana korupsi, tapi dengan mengembalikan kerugian negara.
"PP dan Inpres ini sedikit banyak akan menghambat tugas dan fungsi Densus Tipikor jika dibentuk. Artinya hal-hal seperti ini akan mengintervensi independensi densus sebagai penegak hukum," kata dia kepada Republika.co.id, Selasa (17/10).
Pembentukan Densus Tipikor Polri, di mata Fickar, tidak bisa diserupakan dengan KPK. Jika kewenangan Densus Tipikor Polri serupa dengan KPK, maka kerja dua institusi itu akan saling tumpang-tindih. Tumpang-tindih tersebut bisa terjadi karena KPK mempunyai undang-undang tersendiri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
"Jika Densus akan dibentuk dengan menyerupai KPK, maka ada kendala pada dasar hukumnya. Jadi di UU-nya harus disesuaikan," ujar dia.
Selama UU 30 Tahun 2002 tentang KPK masih ada, lanjut Fickar, maka Densus Tipikor nantinya tetap harus berkoordinasi dengan KPK. Apalagi, KPK memiliki kewenangan melakukan supervisi atas kasus yang ditangani penegak hukum lain, baik Polri ataupun Kejaksaan.
Di sisi lain, Kejaksaan Agung menolak bergabung dengan Densus tersebut. Kondisi ini akan membuat Densus Tipikor berjalan dengan fungsi yang sebetulnya sama saja seperti biasanya. "Keberhasilan penuntutannya akan tergantung pada penuntut di Kejaksaan. Penanganan perkaranya, dengan mekanisme penanganan perkara biasa sebagaimana ditentukan KUHAP," ujar dia.