Selasa 17 Oct 2017 21:19 WIB

Soal Pidato 'Pribumi', Organisasi Sayap PDIP Laporkan Anies

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Andri Saubani
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan sambutan acara pesta rakyat pelantikan gubernur dan wakil gubenrur DKI Jakarta Anies-Sandi di halaman Balai Kota, Jakarta, Senin (16/10) malam.
Foto: Republika/Prayogi
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan sambutan acara pesta rakyat pelantikan gubernur dan wakil gubenrur DKI Jakarta Anies-Sandi di halaman Balai Kota, Jakarta, Senin (16/10) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Departemen Pidana Hukum dan HAM DPD Banteng Muda Indonesia DKI Jakarta Pahala Sirait melaporkan Anies Baswedan ke Bareskrim Polri, Selasa (17/10) petang. Anies dilaporkan terkait isi dari sebagian pidato politik mengenai kata pribumi dan nonpribumi.

Pahala mengungkapkan, dalam laporannya, dia menuntut Anies dengan pasal terkait keberadaan mereka sebagai gubernur di Inpres Nomor 26 tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008. "Sejak ada Inpres itu tidak ada lagi istilah pribumi dan nonpribumi," ujar Pahala, Selasa (17/10).

Dalam laporannya ini, Pahala menyertakan barang bukti berkas lampiran pidato dan video Anies saat berpidato di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (16/10). Pahala mengaku mewakili Banteng Muda yang merupakan sayap PDI Perjuangan (PDIP).

"Kita mau dengan pidato tersebut tidak memecah belah ke depannya jadi kami ini memiliki fungsi kritisi karena kami organisasi sayap partai sebagai salah satu fungsi kami adalah salah satu kontrol yakni kami melaporkan di Bareskrim," jelas dia.

Pahala berharap, ini menjadi pelajaran bagi kepala daerah yang akan berorasi ke depannya untuk tidak lagi mengucapkan adanya golongan pribumi dan nonpribumi. Karena, menurutnya, hal itu menurut dia bisa menimbulkan konflik antarsuku, ras, budaya, dan agama. "Ini sebagai contoh kenapa kita angkat kasus ini supaya kepala daerah kepala daerah nantinya bisa melihat kasus ini," kata Pahala.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjelaskan penggunaan diksi pribumi dalam pidato yang digelorakan di Balai Kota DKI, Senin (16/10). Penggunaan kata itu, menurut dia, konteksnya adalah era kolonialisme sebelum kemerdekaan. "Istilah itu digunakan untuk konteks pada saat era penjajahan," kata dia di Balai Kota DKI, Selasa (17/10).

Anies mengatakan, Jakarta adalah kota yang paling merasakan penjajahan. Warga Ibu Kota menyaksikan langsung orang Belanda yang menjajah Indonesia. Hal ini tentu berbeda dengan mereka yang berada di daerah. Meski tahu adanya penjajahan di Indonesia, kata dia, tapi yang langsung menyaksikan adalah warga Jakarta.

"Yang lihat Belanda dari jarak dekat siapa? Orang Jakarta. Coba kita di pelosok-pelosok Indonesia, tahu ada Belanda. Tapi lihat depan mata? Nggak. Yang lihat depan mata itu kita yang di Kota Jakarta," ujar dia.

Baca pidato lengkap Anies, di sini.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement