REPUBLIKA.CO.ID, SUBANG -- Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT) hingga saat ini diperkirakan bisa menghemat biaya untuk mencetak uang sekitar 10-20 persen. Penghematan dari pencetakan uang fisik angkanya bisa mencapai Rp 16 triliun.
"Ya, itu angka perkiraan. Penghematan yang didapat seperti itu dari total biaya cetak dan distribusi uang per tahun sebesar Rp 16 triliun," kata Kepala Tim SP, PUR, Layanan dan Administrasi Bank Indonesia perwakilan Cirebon, Yukon Afrinaldo kepada pers di sela Bincang Sore di Cipali, Tempat Istirahat Km 102 Tol Cipali, Subang, Rabu (18/10).
Yukon menjelaskan, akibat pemakaian tunai pada seluruh transaksi di Indonesia, uang kartal pecahan kecil paling cepat rusak dan karena itu harus dihancurkan. "Per tahun rata-rata uang yang harus dihancurkan sekitar Rp 5 miliar hingga Rp 7 miliar, " katanya.
Oleh karena itu, katanya, pemerintah dan Bank Indonesia sejak Agustus 2014 meluncurkan GNNT agar meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan instrumen nontunai. Harapannya, kata Yukon, secara berangsur-angsur terbentuk suatu komunitas atau masyarakat yang lebih menggunakan instrumen nontunai (Less Cash Society/LCS) khususnya dalam melakukan transaksi atas kegiatan ekonominya.
"Bulan ini, tepatnya akhir Oktober, pengguna tol seluruh Indonesia harus gunakan uang elektronik," katanya.
Sebelumnya Deputi Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Susiati Dewi mengatakan Bank Indonesia (BI) memelopori GNNT karena lebih hemat, efektif dan efisien serta aman. Hingga Oktober tahun lalu, kata Dewi, GNNT tengah menggema merambah 24 kota dengan total sekitar 1,2 juta orang yang telah menggunakan transaksi non tunai melalui kartu kredit, kartu ektronik dan sejenisnya.
Ia mengatakan gerakan ini diharapkan pada 2024 bisa menjangkau 25 persen dari jumlah penduduk Indonesia, sehingga bisa menghemat uang negara. "Pertumbuhan uang kartal masih 18 persen dibandingkan tahun lalu. Namun, jika tidak ada GNNT mungkin bisa lebih dari itu," demikian Dewi