REPUBLIKA.CO.ID,Google dan Facebook merupakan dua platform media digital yang menguasai dunia saat ini. Jutaan orang mengakses laman keduanya setiap hari, bahkan setiap detik. Tak mengherankan bila banyak pihak yang berhasrat untuk bisa memanfaatkan Facebook dan Google sebagai sarana mempromosikan, mengiklankan, atau mengampanyekan sesuatu, termasuk ide atau gagasan politik.
Pada pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) 2016 lalu, misalnya, Facebook dan Google ternyata tidak berdiri di zona netral atau bebas dari persaingan politik. Kedua raksasa media digital ini ternyata gencar menayangkan sepasang iklan pariwisata palsu yang kontroversial guna mempengaruhi pilihan politik penggunanya. Iklan tersebut bertajuk "Pesan Perjalanan Anda ke Negara Islam Prancis".
Dalam iklan itu ditayangkan bagaimana Prancis dikuasai hukum Syariat Islam. Menara Eiffel yang ikonik ditampilkan dengan bulan sabit dan bintang bertengger di pucuknya. Lukisan legendaris karya Leonardo Da Vinci, yakni Mona Lisa, digambarkan mengenakan burka pada wajahnya.
"Berdasarkan hukum syariat, Anda dapat menikmati semua yang ditawarkan Negara Islam Prancis, selama Anda mengikuti peraturan," kata narator dalam tayangan iklan tersebut, dikutip laman engadget.
Iklan ini terus ditayangkan selama berpekan-pekan menjelang waktu pemilihan presiden AS. Iklan ini secara khusus menargetkan pengguna Facebook dan Google yang berdomisili di Nevada dan North Carolina.
Iklan ini menjadi bukti bahwa Facebook dan Google terlibat dalam sebuah kampanye politik di AS. Sejauh mana kedua platform media digital itu bekerja sama dengan kampanye politik belum dipahami secara luas.
Namun yang jelas, iklan tentang penerapan hukum syariat di Prancis yang ditayangkan Facebook dan Google menjelang pemilihan presiden AS disponsori oleh kelompok Secure America Now (SAN). Mereka adalah kelompok advokasi konservatif dan nirlaba yang kampanyenya mencakup anti-Hillary Clinton serta anti-Islam. SAN didirikan tahun 2011 untuk menentang pembangunan pusat komunitas Muslim dan masjid di Manhattan, dekat lokasi serangan World Trade Center pada 11 September 2001.
Menurut laporan internal dari biro iklan yang mengeksekusi kampanye SAN, seperti dikutip laman Bloomberg, para karyawan di Google dan Facebook terlibat langsung dalam proyek ini. Para karyawan di kedua perusahaan membantu menargetkan agar iklan milik SAN itu menjangkau sasaran khalayak yang tepat. Adapun dana yang dikucurkan untuk menggarap dan menayangkan iklan rasis ini mencapai jutaan dolar AS.
Pada bulan-bulan berikutnya, SAN kembali memanfaatkan Facebook dan Google untuk memenangkan kandidat senat Nevada dari Partai Demokratik yakni Cathrine Cortez Masto. Kali ini SAN tidak hanya menggunakan video yang mendiskreditkan Islam, tapi juga menyinggung isu pengungsi Suriah.
"Setop dukungan terhadap terorisme. Pilih Cathrine Cortez Masto. Anda melihat ancaman. Sekarang pilih untuk selamatkan Nevada," demikian bunyi iklan tersebut. Belakangan Cathrine Cortez Masto pun terpilih sebagai senat Nevada.
"Dalam beberapa kasus, iklan-iklan SAN ini sangat ditargetkan pada media sosial dan ditujukan untuk kelompok orang, seperti pemilih Hispanik di Nevada, yang mereka rasa dapat terpengaruh oleh pesan antipengungsi," kata dua orang yang bekerja dalam kampanye tersebut.
Salah satu pekerja di Harris Media, perusahaan yang menggarap kampanye SAN mengaku tak nyaman dengan konten-konten yang dimunculkan. "(Kampanye) Ini dirancang untuk memicu ketakutan di hati orang-orang," ucapnya.
Tak hanya di AS, kampanye politik melalui Facebook terjadi pula di Jerman. Awal tahun ini, misalnya, Facebook menjalin kerja sama dengan partai Alternative for Germany (AfD) yang berhaluan kanan dan memiliki sikap antiimigran. Iklan ini pun digarap oleh Harris Media.
Dalam pertemuan di kantor Facebook di Berlin, para eksekutif mendorong AfD dan Harris Media untuk memanfaatkan fitur Facebook Live di samping belanja iklannya untuk lebih menargetkan pemilih di Jerman.
Profesor pemasaran dari University of Maryland Robert H Smith School of Business Wendy Moe berpendapat keputusan Google untuk bekerja sama dengan kelompok politik tampaknya dilakukan untukmenguji strategi periklanan mereka. "Ini membantu mereka mengasah naskahnya dan mencari tahu bagaimana cara terbaik untuk menyasar khalayak yang diinginkan," kata Moe.
Menurutnya, ketika perusahaan media seperti Google atau Facebook memutuskan mengampanyekan gagasan suatu kelompok atau organisasi politik, selain akan timbul masalah pelik, mereka juga akan semakin terseret dalam kegiatan tersebut.
"Sebab ketika perusahaan memutuskan untuk melakukan pekerjaan tangan untuk kelompok politik, sulit bagi mereka untuk mengatakan bahwa mereka hanya akan membantu kelompok-kelompok ini dan bukan kelompok yang lain," kata Moe menjelaskan.
Juru bicara Google pun telah angkat bicara menanggapi isu ini. "Kami memiliki kebijakan ketat yang mengatur ke mana kami mengizinkan iklan Google muncul dan kami menerapkan kebijakan ini dengan penuh semangat. Bila kami menemukan iklan yang melanggar kebijakan ini, kami segera menolak dan berhenti menampilkannya," katanya.
Google pun mencatat bahwa mereka terus mengevaluasi iklannya dan kebijakannya didasarkan pada prinsip yang dapat berkembang serta berubah seiring berjalannya waktu. Kendati demikian, mereka memiliki mengklaim memiliki pedoman dalam penayangan iklan di lamannya.
"Pedoman iklan perusahaan melarang apapun yang memicu kebencian, mempromosikan diskriminasi, atau meremehkan individu atau kelompok berdasarkan ras, etnis, kecacatan, usia, kewarganegaraan, orientasi sekusal, jenis kelamin, identitas gender, atau karalteristik lain yang terkait dengan diskriminasi sitemik atau marginalisasi," ujarnya.
Sedangkan Facebook belum memberikan komentar terkait keterlibatannya dalam sebuah kampanye politik, baik di AS maupun Jerman.