REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPD RI AM Iqbal Parewangi menyebutkan, apa yang telah dilakukan pemerintah Amerika Serikat (AS) terkait pelarangan masuk Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo hingga saat ini belum cukup. Menurutnya, masih ada hal yang lebih penting perlu disingkap, yaitu latar belakang pelarangan tersebut.
"Pencabutan larangan memasuki wilayah AS, berikut permohonan maaf pemerintah AS dan pengakuannya bahwa pelarangan tersebut menyebabkan ketidaknyamanan hubungan Indonesia-AS, sesungguhnya itu saja tidak cukup," ungkap Iqbal ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (24/10).
Menurutnya, ada hal yang lebih penting yang seharusnya diperjelas, yaitu apa latar belakang serta maksud dan tujuan munculnya pelarangan tersebut. Iqbal merasa patut disadari, pelarangan itu bukan cuma insiden buruk, tapi juga preseden buruk.
Ia pun merasa, sulit dihindari beberapa runutan logis dari pelarangan tersebut. Kejadian itu menujukkan adanya pelecehan dan menohok simbol kekuatan pertahanan negara. Begitu juga dapat menyayat kewibawaan internasional pemerintah Indonesia.
"Menyinggung martabat bangsa Indonesia di mata masyarakat dunia dan masyarakat kita sendiri, dan seterusnya," ujar dia.
Iqbal menyebutkan, beda cerita apabila pelarangan itu atas diri pribadi Jenderal Gatot Nurmantyo, itu bisa disebut sebagai insiden buruk. Tapi, pelarangan tersebut terjadi atas nama Panglima TNI bernama Jenderal Gatot Nurmantyo yang akan memenuhi undangan resmi dari Panglima Angkatan Bersenjata AS.
"Maka pelarangan itu tidak sepantasnya dianggap cuma insiden buruk, tetapi juga preseden buruk. Buruk bagi martabat Indonesia di mata AS, dunia internasional, dan atas martabat dirinya sendiri. Ringkasnya, preseden itu buruk bagi Indonesia secara eksternal maupun internal," kata Iqbal.
Bagaimana pun, jelas dia, TNI merupakan kekuatan utama pertahanan bangsa dan negara Indonesia. Di sana ada martabat Indonesia di mata internasional dan juga di mata negara ini sendiri sebagai bangsa berdaulat. Seorang Panglima TNI, menurutnya, merupakan simbol dari kekuatan tersebut.
Karena itu, pelarangan tersebut ia anggap bermakna pelecehan terhadap kekuatan. Juga merupakan pelecehan martabat bangsa dan negara Indonesia. "Apalagi tanpa ada penjelasan tuntas dan resmi dari pemerintah Indonesia," lanjut dia.