REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN PIM) Arief Rosyid Hasan mengatakan masih ada kesenjangan antara generasi muda yang tinggal di perkotaan dan pelosok daerah. Terdapat 62 juta anak muda di Indonesia dengan beragam kondisi.
Generasi muda di perkotaan sangat dekat dengan beragam teknologi canggih, tapi tidak demikian halnya dengan generasi muda di pinggiran atau pelosok daerah. "Kita bukan sekadar mengalami kesenjangan ekonomi, tapi dalam masalah kepemudaan kita juga ada kesenjangan," kata Arief Rosyid dalam sebuah diskusi di Jalan Brawijaya, Jakarta Selatan, Kamis (26/10).
Ia mengaku pernah melakukan kajian terhadap anak muda dengan tiga fokus utama, yakni kesehatan, pendidikan, dan ketenagakerjaan. Hasilnya, di banyak daerah, ketiga bidang krusial itu masih bermasalah.
Meski alokasi pendidikan saat ini sudah 20 persen, Arief mengungkapkan, angka buta huruf pada periode ini cenderung landai. Dari tahun 2012 ada penurunan signifikan angka buta huruf, tapi memasuki 2014 sampai 2016 cenderung landai.
Hal serupa terjadi di bidang kesehatan. Arief memaparkan rata-rata lama sakit yang dahulu 4-7 hari, sejak 2014 naik menjadi 6-7 hari.
"Soal tenaga kerja, pengangguran pemuda di Indonesia pada 2015 itu 14,19 persen, ternyata itu meningkat 2,05 dari tahun 2012. Bahkan ini tiga kali lipat persentasenya dengan pengangguran nasional," ujar Arief.
Sepesat apapun teknologi informasi, Arief mengingatkan bahwa di sisi lain bangsa Indonesia masih menghadapi tiga masalah krusial tersebut. Teknologi bagi segelintir orang bermakna positif, tapi bagi yang lain bisa menjadi hal yang destruktif. Akses terhadap teknologi canggih juga belum dinikmati semua anak muda.
Arief menyatakan bangsa Indonesia sebenarnya punya peluang besar untuk keluar dari ketiga masalah fundamental ini. Yakni, dengan mengoptimalkan bonus demografi yang telah dimulai sejak tahun 2012.
Menurut Arief, momentum bonus demografi antara 2012 sampai 2035 adalah momentum sejarah yang tidak akan didapatkan lagi. Momentum sekali seumur hidup inilah yang berhasil dimanfaatkan oleh pemerintah Singapura, Jepang, dan Cina.
"Mereka berhasil memanfaatkan momentum itu, makanya kemajuannya sangat pesat. Pertanyaannya apakah kita memperhatikan momentum ini, ternyata dengan fakta-fakta yang ada itu belum," ujarnya dengan nada pesimistis.