REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa Hukum Setya Novanto, Friedrich Yunadi, menganggap Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) untuk kliennya yang beredar di kalangan wartawan itu hoaks. Sebab, selain surat tersebut tidak pernah diterimanya, pernyataan Juru Bicara KPK Febri Diansyah Senin (6/11) kemarin juga membuktikan SPDP tersebut tidak benar. "Itu beritanya hoaks. Tidak benar itu. Kita belum pernah terima, belum pernah," kata dia saat dikonfirmasi Republika.co.id, Selasa (7/11).
Friedrich juga menyebutkan, penjelasan Febri kemarin adalah pernyataan yang mewakili KPK secara kelembagaan. Sehingga, apa yang dilontarkan juru bicara KPK itu, menjadi acuan bagi kuasa hukum Novanto bahwa memang tidak ada SPDP yang ditujukan untuk kliennya.
"Iya (hoax). Dan apalagi KPK sudah menyatakan bahwa KPK tidak pernah membuat SPDP kan. Juru bicaranya kan kemarin sudah mengatakan bahwa KPK belum menerbitkan SPDP. Berarti (SPDP) yang beredar ini kan hoaks," kata dia.
Sebelumnya, Jubir KPK Febri Diansyah mengatakan belum ada SPDP yang diterbitkan institusinya untuk Novanto. Pihaknya masih mendalami konstruksi hukum kasus KTP-El yang diindikasikan merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. "Yang pasti KPK sedang terus mendalami dan memperkuat konstruksi hukum kasus KTP-elektronik ini," ungkap Febri.
Pada Senin (6/11) kemarin telah beredar SPDP yang ditujukan kepada Novanto. Melalui surat itu, Novanto kembali ditetapkan sebagai tersangka kasus KTP-El. SPDP yang beredar di kalangan wartawan itu tercatat dengan nomor 113/01//10/2017 tertanggal 31 Oktober 2017. Setnov disangka melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan proyek KTP-el tahun 2011-2012 pada Kementerian Dalam Negeri.
Politikus Partai Golkar itu disangka melakukan perbuatan tersebut bersama dengan Anang Sugiana Sudihardjo, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman, Sugiharto, dan kawan-kawan. Pasal yang disangkakan kepada Setnov adalah pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.